KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga
kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang berjudul “ ADAB DAN
IMPLEMENTASI DALAM KEHIDUPAN”
Sebagai seorang muslim yang baik
kita tentu tahu bahwa adab terhadap orang tua merupakan sesuatu hal yang sangat
penting. Karena, orang tua adalah orang yang mengenalkan kita pada dunia dari
kecil hingga dewasa. Dan setiap orang tua pun pasti mempunyai harapan terhadap
anaknya agar kelak menjadi anak yang sukses, berbakti kepada orang tua, serta
menjadi lebih baik dan sholeh, di samping itu juga tentunya dalam kehidupan
kita sehari-hari tidak terlepas dari interaksi dengan yang ada di sekeliling
kita, guru, tetangga, dan sesama makhluk Allah SWT.
Maka dari itu, jika kita memang
seorang muslim yang baik hendaknya kita selalu berbakti kepada orang tua,
melakukan apa yang telah diperintahkan oleh orang tua, dan pantang untuk
membangkang kepada orang tua, dan juga harus memperhatikan yang ada di
sekeliling kita agar terciptanya keharmonisan dalam kehidupan.
Namun di zaman dewasa ini banyak
dari kita seperti lupa terhadap kewajiban kita terhadap orang tua dan yang ada
di sekeliling kita sebagai muslim yang baik, yaitu adalah kita harus memiliki adab
dan prilaku yang sempurna terhadap orang tua dan yang ada di sekeliling kita.
Makalah ini mengandung poin-poin penting bagaimana menjadi manusia yang beradab
dalam kehidupan baik terhadap orang tua, guru, tetangga, tamu, dan sesama
manusia. Maka selain sebagai upaya untuk mengerjakan tugas Aqidah Akhlaq, saya
berharap bahwa tugas makalah ini juga dapat dijadikan sebagai pengingat bagi
setiap orang muslim yang membacanya akan pentingnya adab dan prilaku yang
baik terhadap hal-hal yang ada di sekitar kita.
Demikian makalah ini
kami susun dengan harapan dapat memberikan kontribusi yang posisi bagi ummat
manusia, dan tak lupa koreksi ataupun saran yang bersifat konstruktif dari para
pembaca dengan harapan hasil penyusunan kami lebih baik di kemudian hari.
Terima kasih
Ciamis, November 2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Di antara kelaziman hidup
bermasyarakat adalah budaya saling hormat menghormati, saling menghargai satu
sama lain, dalam keluarga sangatlah penting di tanamkan abad dan tatakrama yang
sopan terhadap kedua orang dan santun apabila berbicara terhadap keduanya.
Di zaman yang modern seperti
sekarang ini telah banyak pergeseran tentang adab atau prilaku sehingga
menjurus kepada dekadensi moral, anak dengan orang tua tiada jarak yang
memisahkan seperti layaknya teman sebaya, murid dengan guru sudah tidak bisa
lagi dibedakan baik dalam perkataan, perbuatan ataupun prilaku dalam kehidupan
sehari-hari yang seakan-akan tidak mencerminkan prilaku seorang guru ataupun
peserta didik.
Dalam kehidupan sehari-hari
seringkali kita temukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kaidah islamiyyah yang
menjunjung tinggi rasa saling menghargai, menghormati. Dalam berkehidupan
saling berdampingan dalam satu kawasan ataupun daerah individualisme lah yang
sering dimunculkan di mana rasa gotong royong, membantu satu sama lain sudah
sangat sulit sekali kita temukan, terlebih di kota-kota besar yang memang
notabene memiliki beragam etnis, kebiasaan, dan budaya yang berbeda beda.
Dengan adanya makalah ini penyusun
mencoba menjelaskan tentang pandangan islam tentang adab/tatakrama/ prilaku
yang seharusnya dijunjung tinggi dan diimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari, baik dalam bergaul satu sama lain, dalam bidang ekonomi sosial
budaya dan lain sebagainya.
B.
Perumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini rumusan masalah yang akan d kaji diantaranya:
·
Bagaimana pengertian adab?
·
Bagaimanakah adab
seorang anak terhadap kedua orang tua?
·
Bagaimanakah adab
seorang anak terhadap guru?
·
Bagaimanakah adab seorang
anak terhadap tetangga?
·
Bagaimanakah adab
seorang anak terhadap tamu?
·
Bagaimanakah adab
seorang anak terhadap sesama?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya:
·
Untuk mendiskripsikan
pengertian adab.
·
Untuk menjelaskan adab
seorang anak terhadap kedua orang tua?
·
Untuk menjelaskan adab
seorang anak terhadap guru?
·
Untuk menjelaskan adab
seorang anak terhadap tetangga?
·
Untuk menjelaskan adab
seorang anak terhadap tamu?
·
Untuk menjelaskan adab
seorang anak terhadap sesama?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Adab
Menurut bahasa Adab
memiliki arti kesopanan, kehalusan dan kebaikan budi pekerti, akhlak.
M. Sastra Praja menjelaskan bahwa, adab
yaitu tata cara hidup, penghalusan atau kemuliaan kebudayaan
manusia. Sedangkan menurut istilah Adab adalah suatu ibarat tentang
pengetahuan yang dapat menjaga diri dari segala sifat yang salah.
Pengertian bahwa adab ialah mencerminkan baik
buruknya seseorang, mulia atau hinanya seseorang, terhormat atau tercelanya
nilai seseorang. Maka jelaslah bahwa seseorang itu bisa mulia dan terhormat di
sisi Allah dan manusia apabila ia memiliki adab dan budi pekerti yang baik.
Seseorang akan menjadi orang yang beradab
dengan baik apabila ia mampu menempatkan dirinya pada sifat kehambaan yang
hakiki. Tidak merasa sombong dan tinggi hati dan selalu ingat bahwa apa yang
ada di dalam dirinya adalah pemberian dari Allah swt. Sifat-sifat tersebut
telah dimiliki Rasulullah saw. Secara utuh dan sempurna.
Menurut Imam al-Ghazali akhlak mulia adalah
sifat-sifat yang dimiliki oleh para utusan Allah swt. yaitu para Nabi dan Rasul
dan merupakan amal para shadiqin. Akhlak yang baik itu merupakan sebagian dari
agama dan hasil dari sikap sungguh-sungguh dari latihan yang dilakukan oleh
para ahli ibadah dan para mutaqin.
Al-Ghazali berpendapat bahwa pendidikan akhlak
hendaknya didasarkan atas mujahadah (ketekunan) dan latihan jiwa. Mujahadah dan
riyadhah-nafsiyah (ketekunan dan latihan kejiwaan) menurut al-Ghazali ialah
membebani jiwa dengan amal-amal perbuatan yang ditujukan kepada khuluk yang baik,
sebagaimana kata beliau: Barangsiapa yang ingin dirinya mempunyai akhlak
pemurah, maka ia harus melatih diri untuk melakukan perbuatan-perbuatan
pemurah, yakni dermawan, dan gemar bersedekah. Jika beramal bersedekah
dilakukan secara istiqamah, maka akan jadi kebiasaan.
Hal ini sejalan dengan firman Allah swt :
Artinya :
“... dan orang-orang yang berjihad untuk
(mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik,,,.”
Konsepsi pendidikan modern saat ini sejalan
dengan pandangan al-Ghazali tentang pentingnya pembiasaan melakukan suatu
perbuatan sebagai suatu metode pembentukan akhlak yang utama. Pandangan
al-Ghazali tersebut sesuai dengan pandangan ahli pendidikan Amerika Serikat,
John Dewey, yang dikutip oleh Ali Al Jumbulati menyatakan: Pendidikan moral
terbentuk dari proses pendidikan dalam kehidupan dan kegiatan yang dilakukan
oleh murid secara terus-menerus.
B.
Adab terhadap Orang Tua
Orang muslim meyakini hak kedua orang tua terhadap dirinya, kewajiban
berbakti, taat, dan berbuat baik kepada keduanya. Tidak karena keduanya
penyebab keberadaannya hingga ia harus berbalas budi kepada keduanya, tetapi
karena Allah Azza wa Jalla mewajibkan taat, menyuruh berbakti, dan berbuat
bakti kepada keduanya. Bahkan, Allah Ta’ala mengaitkan hak orang tua tersebut
dengan hak-Nya yang berupa penyembahan kepada diri-Nya dan tidak kepada yang
lain. Allah Azza wa Jalla berfirman :
* 4Ó|Ós%ur y7/u wr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$Î) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7t x8yYÏã uy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdxÏ. xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& wur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJÌ2 ÇËÌÈ
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
"ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia. (Al Isra’ : 23)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
$uZø¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷yÏ9ºuqÎ/ çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $·Z÷dur 4n?tã 9`÷dur ¼çmè=»|ÁÏùur Îû Èû÷ütB%tæ Èbr& öà6ô©$# Í< y7÷yÏ9ºuqÎ9ur ¥n<Î) çÅÁyJø9$# ÇÊÍÈ
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Luqman : 14)
Seseorang yang bertanya kepada Rasulullah SAW, “Siapakah yang berhak
mendapatkan pergaulanku yang baik?” Rasulullah SAW bersabda, “ Ibumu”. Orang
tersebut bertanya lagi, “Siapa lagi?” Rasulullah SAW bersabda, “ Ibumu”. Orang
tersebut bertanya lagi, “Siapa lagi?” Rasulullah SAW bersabda, “ Ibumu”. Orang
tersebut bertanya lagi, “Siapa lagi?” Rasulullah SAW bersabda, “ Ayahmu”.
Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian durhaka kepada kedua orang
tua, menahan hak, dan mengubur hidup anak perempuan. Allah membenci untuk
kalian mengosip, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta.” (Muttafaq Alaih)
Rasulullah SAW bersabda,
“Seorang anak tidak bisa membalas ayahnya, kecuali ia menemukan ayahnya
menjadi budak, kemudian ia membelinya dan memerdekaannya” (Muttafaq Alaih)
Salah seorang sahabat datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta izin
berjihad, kemudian beliau bertanya, “ Apakah kedua orang tuamu masih hidup?”
Sahabat tersebut menjawab, “Ya keduanya masih hidup”, Rasulullah SAW bersabda,
“Mintalah izin kepada keduanya, kemudian berjihadlah.”
Salah seorang kaum Anshar datang kepada Rasulullah SAW, kemudian berkata,
“Wahai Rasulullah, apakah aku masih mempunya kewajiban bakti kepada orang tua
yang harus aku kerjakan setelah kematian keduanya?” Rasulullah SAW bersabda,
“Ya ada, yaitu empat hal : Mendoakan keduanya, memintakan ampunan untuk
keduanya, melaksanakan janji keduanya, memuliakan teman-teman keduanya, dan
menyambungkan sanak famili di mana engkau tidak mempunyai hubungan kekerabatan
kecuali dari jalur keduanya. Itulah bentuk bakti engkau kepada keduanya setelah
kematian keduanya.” (Diriwayatkan Abu Daud).
Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya bakti terbaik ialah hendaknya seorang anak tetap menyambung
hubungan keluarga ayahnya setelah ayahnya menyambungnya.” (Diriwayatkan Muslim)
Setelah orang muslim mengetahui hak kedua orang tua atas dirinya dan
menunaikannya dengan sempurna karena mereka mentaati Allah Ta’ala dan
merealisir wasiat-Nya, maka juga menjaga etika-etika berikut ini terhadap kedua
orang tuanya :
1.
Taat kepada
kedua orang tua dalam semua perintah dan larangan keduanya, selama di dalamnya
tidak terdapat kemaksiatan kepada Allah, dan pelanggaran terhadap syariat-Nya,
karena manusia tidak berkewajibab taak kepada manusia sesamanya dalam
bermaksiat kepada Allah, berdasarkan dalil-dalil berikut :
bÎ)ur #yyg»y_ #n?tã br& Íô±è@ Î1 $tB }§øs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ ÖNù=Ïæ xsù $yJßg÷èÏÜè? ( $yJßgö6Ïm$|¹ur Îû $u÷R9$# $]ùrã÷ètB ( ôìÎ7¨?$#ur @Î6y ô`tB z>$tRr& ¥n<Î) 4 ¢OèO ¥n<Î) öNä3ãèÅ_ötB Nà6ã¥Îm;tRé'sù $yJÎ/ óOçFZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÊÎÈ
“dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan
orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka
Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Sabda Rasulullah
SAW,
“ Tidak ada
kewajiban ketaatan bagi manusia dalam maksiat kepada Allah”
2.
Hormat dan
menghargai kepada keduanya, merendahkan suara dan memuliakan keduanya dengan
perkataan dan perbuatan yang baik, tidak menghardik dan tidak mengangkat suara
di atas suara keduanya, tidak berjalan di depan keduanya, tidak mendahulukan
istri dan anak atas keduanya, tidak memanggil keduanya dengan namanya namun
memanggil keduanya dengan panggilan, “Ayah, ibu,” dan tidak berpergian kecuali
dengan izin dan kerelaan keduanya.
3.
Berbakti kepada
keduanya dengan apa saja yang mampu ia kerjakan, dan sesuai dengan
kemampuannya, seperti memberi makan-pakaian keduanya, mengobati penyakit
keduanya, menghilangkan madzarat dari keduanya, dan mengalahkan untuk kebaikan
keduanya.
4.
Menyambung
hubungan kekerabatan dimana ia tidak mempunya hubungan kecuali dari jalur kedua
orang tuanya mendoakan dan memintakan ampunan untuk keduanya, melaksanakan
janji (wasiat), dan memuliakan teman-teman keduanya.
C.
Adab Terhadap guru
Sesungguhmya adab yang mulia adalah
salah satu faktor penentu kebahagiaan dan keberhasilan seseorang. Begitu juga
sebaliknya, kurang adab atau tidak beradab adalah alamat (tanda) jelek
dan jurang kehancurannya. Tidaklah kebaikan dunia dan akhirat kecuali dapat
diraih dengan adab, dan tidaklah tercegah kebaikan dunia dan akhirat melainkan
karena kurangnya adab. (Madarijus Salikin, 2/39)
Di antara adab-adab yang telah
disepakari adalah adab murid kepada syaikh atau gurunya. Imam Ibnu Hazm
berkata: “Para ulama bersepakat, wajibnya memuliakan ahli al-Qur’an, ahli Islam
dan Nabi. Demikian pula wajib memuliakan kholifah, orang yang punya keutamaan
dan orang yang berilmu.” (al-Adab as-Syar’iah 1/408)
Berikut ini beberapa adab yang
selayaknya dimiliki oleh penuntut ilmu ketika menimba ilmu kepada gurunya.
Sebagai nasehat bagi kami, selaku seseorang yang masih belajar dan nasehat bagi
saudara-saudara kami seiman yang sedang dan ingin menimba ilmu. Allohul
Muwaffiq.
1.
Ikhlas sebelum melangkah
Pertama kali sebelum melangkah
untuk menuntut ilmu hendaknya kita berusaha selalu mengikhlaskan niat.
Sebagaimana telah jelas niat adalah faktor penentu diterimanya sebuah amalan.
Ilmu yang kita pelajari adalah ibadah, amalan yang mulia, maka sudah barang
tentu butuh niat yang ikhlas dalam menjalaninya. Belajar bukan karena ingin
disebut sebagai pak ustadz, ?rang alim atau ingin meraih ba-iian dunia yang
menipu.
Dalil akan pentingnya ikhlas beramal di antaranya
firman Allah:
وَمَا
أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء
Artinya :
“ Padahal mereka tidakdisuruh kecuali supaya menyembah
Alloh dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam(menjalankan) agama yang
lurus”.(QS. al-Bayyinah [98]: 5)
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda:
“ Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk membantah orang
bodoh, atau berbangga di hadapan ulama atau mencari perhatian manusia, maka dia
masuk neraka. (HR. Ibnu Majah 253, Syaikh al-Albani menyatakan
hadits ini hasan dalam al-Misykah 225)
Imam ad-Daruqutni berkata: “Dahulu
kami menuntut ilmu untuk selain Alloh, akan tetapi ilmu itu enggan kecuali
untuk Alloh.” (Tadzkiratus Sami hal. 47, lihat Ma’alim fi Thoricj
Tholibil llmihal. 20).
Imam asy-Syaukani berkata: “Pertama
kali yang wajib bagi seorang penuntut ilmu adalah meluruskan niatnya. Hendaklah
yang tergambar dari perkara yang ia kehendaki adalah syariat Alloh, yang
dengannya diturunkan para Rosul dan al-Kitab. Hendaklah penuntut ilmu
membersihkan dirinya dari tujuan-tujuan duniawi, atau karena ingin inencapai
kemuliaan, kepemimpinan dan Iain-lain. Ilmu ini mulia, tidak menerima
selainnya.” (Adabut Tholab wa Muntaha al-Arab hal. 21)
Apabila keikhlasan telah hilang
ketika belajar, maka amalan ini (menuntut ilmu) akan berpindah dari keutamaan
yang paling utama menjadi kesalahan yang paling rendah!. (at-Ta’liq
as-Tsamin hal. 18)
2.
Jangan mencari guru sembarangan
Ibnu Jama’ah al-Kinani berkata:
“Hendaklah penuntut ilmu mendahulukan pandangannya, istikhoroh kepada Alloh
untuk memilih kepada siapa dia berguru. Hendaklah dia memilih guru yang benar-benar
ahli, benar-benar lembut dan terjaga kehormatannya. Hendaklah murid memilih
guru yang paling bagus dalam mengajar dan paling bagus dalam memberi
pemahaman. Janganlah dia berguru kepada orang yang sedikit sifat waro’nya atau
agamanya atau tidak punya akhlak yang bagus.” (Tadzkiratus Sami’ wal
Mutakallim hal. 86)
Bukan sebuah aib apabila kita
menuntut ilmu dari orang alim yang masih muda. Imam Ibnu
Muflih berkata: “Fasal mengambil ilmu dari ahlinya sekalipun masih berusia
muda.” (al-Adab asy-Syari’ah 2/214)
Sahabat Abdulloh bin Abbas radhiyallahu
‘anhuma berkata: “Aku dahulu membacakan ilmu kepada beberapa orang
muhajirin, di antara mereka ada Abdurrahman bin Auf.” (HR. Bukhori 6442).
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:
“Dalam hadits ini terdapat peringatan akan perlunya mengambil ilmu dari ahlinya
sekalipun masih berusia muda atau sedikit kedudukannya.” (Kasyful Musykil, lihat
Adab at-Tatalmudz hal. 16)
Imam Ibnu Abdil Barr berkata:
“Orang yang bodoh itu tetap dikatakan rendah sekalipun dia seorang syaikh. Dan
orang yang berilmu itu tetap mulia sekalipun masih muda.” (Jami’ Bayanil
Ilmi, Adab at-Tatalmudz hal. 16)
3.
Mengagungkan guru
Mengagungkan orang yang berilmu
termasuk perkara yang dianjurkan. Sebagaimana Rasululloh bersabda : “ bukanlah
termasuk golongan kami orang yang
tidak menghorrmti orang yang tua, tidak menyayangi yang
muda dan tidak mengerti hak ulama kami. (HR. Ahmad 5/323, Hakim 1/122.
Dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohih Targhib 1/117)
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Hendaklah
seorang murid memperhatikan gurunya dengan pandangan penghormatan. Hendaklah
ia meyakini keahlian gurunya dibandingkan yang lain. Karena hal itu akan
menghantarkan seorang murid untuk banyak mengambil manfaat darinya, dan lebih
bisa membekas dalam hati terhadap apa yang ia dengar dari gurunya tersebut.” (al-Majmu’
1/84)
4.
Akuilah keutamaan gurumu
Khothib al-Baghdadi berkata: “Wajib
bagi seorang murid untuk mengakui keutamaan gurunya yang faqih dan hendaklah
pula menyadari bahwa dirinya banyak mengambil ilmu dari gurunya.” (al-Faqih
wal Mutafaqqih 1/196)
Ibnu Jamaah al-Kinani berkata: “Hendaklah seorang murid
mengenal hak gurunya, jangan dilupakan semua jasanya.” (Tadzkiratus Sami’
hal. 90)
5.
Doakan kebaikan
Rasululloh bersabda : “Apabila
ada yang berbuat baik kepadamu maka balaslah denganbalasan yang
setimpal. Apabila kamu tidak bisa membalasnya, maka doakanlah dia hingga engkau
memandang telah mencukupi untuk membalas dengan balasan yang setimpal.” (HR.
Abu Dawud 1672, Nasa’i 1/358, Ahmad 2/68, Hakim 1/412 Bukhori dalam al-Adab
al-Mufrod no. 216, Ibnu Hibban 2071, Baihaqi 4/199, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah
9/56. Lihat as-Shohihah 254)
Imam Abu Hanifah berkata: “Tidaklah
aku sholat sejak kematian Hammad kecuali aku memintakan ampun untuknya dan
orang tuaku. Aku selalu memintakan ampun untuk orang yang aku belajar darinya
atau yang mengajariku ilmu.” (Mana-qib Imam Abu Hanifah. Lihat Adab
at-Tatalmudz hal. 28)
Ibnu Jama’ah berkata: “Hendaklah
seorang penuntut ilmu mendoakan gurunya sepanjang masa. Memperhatikan
anak-anaknya, kerabatnya dan menunaikan haknya apabila telah wafat.” (Tadzkiroh
Sami’ hal. 91)
6.
Rendah diri kepada guru
Ibnu Jama’ah rahimahullah berkata:
“Hendaklah seorang murid mengetahui bahwa rendah dirinya kepada seorang guru
adalah kemuliaan, dan tunduknya adalah kebanggaan.” (Tadzkiroh Sami’ hal.
88)
Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma dengan kemuliaan dan kedudukannya yang agung, beliau mengambil
tali kekang unta Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu seraya berkata:
“Demikianlah kita diperintah untuk berbuat baik kepada ulama.” (as-Syifa 2/608)
al-Khothib telah meriwayatkan dalam kitab Jami’nya bahwa Ibnul Mu’taz
berkata: “Orang yang rendah diri dalam belajar adalah yang paling banyak
ilmunya sebagaimana tempat yang rendah adalah tempat yang paling banyak
airnya.” (Adab at-Tatalmudz hal. 32)
7.
Mencontoh akhlaknya
Hendaklah seorang penuntut ilmu
mencontoh akhlak dan kepribadian guru. Mencontoh kebiasaan dan ibadahnya. (Tadzkiroh
Sami’ hal. 86) Qoshim bin Salam menceritakan: “Adalah para murid Ibnu
Mas’ud mereka belajar kepadanya untuk melihat akhlak, kepribadian dan
kemudian menirunya.” (Adab at-Tatalmudz hal. 40)
Bila pelajaran sudah dimulai
Bila pelajaran telah dimulai
hendaklah bagi seorang penuntut ilmu memperhatikan hal-hal berikut;
·
Menghadirkan hati dan perhatian
dengan seksama
Apabila telah hadir dalam majelis ilmu maka
pusatkanlah perhatianmu untuk mendengar dan memahami pelajaran. Jangan biarkan
hati menerawang ke-mana-mana. Konsentrasi penuh, karena sikap yang demikian
akan membuat pelajaran lebih membekas dan terpahami.
Ibnu Jama’ah berkata: “Hendaklah seorang murid ketika
menghadiri pelajaran gurunya memfokuskan hatinya dan ber-sih dari segala
kesibukan. Piki-rannya penuh konsentrasi, tidak dalam keadaan mengantuk,
marah, haus, lapar dan lain seba-gainya. Yang demikian agar hatinya
benar-benar menerima dan memahami terhadap apa yang dijelaskan dan apa yang dia
de-ngar.” (Tadzkiroh Sami’ hal. 96)
·
Mengenakan pakaian yang bersih
Hal ini harus diperhatikan pula. Hendaklah seorang
murid berpakaian yang sopan dan bersih. Ingatlah ketika malaikat Jibril
bertanya kepada Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau sangat
bersih pakaian dan keadaan dirinya. Umar bin Khoththob mengatakan: “Ketika kami
duduk di sisi Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari,
tiba-tiba datang kepada kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih,
rambutnya sangat hitam, tidak terlihat padanya bekas perjalanan jauh.” (HR.
Muslim 8, Abu Dawud 4695, Tirmidzi 2610, Nasa’i 8/97, Ibnu Majah 63 dan
selainnya.)
Karena kondisi yang bersih
menandakan bahwa seorang murid siap menerima pelajaran dan ilmu. Maka jangan
salah-kan apabila ilmu tidak mere-sap dalam dada karena kondisi kita yang
kurang siap, pakaian penuh keringat, kepanasan dan sebagainya.
·
Duduk dengan tenang
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin berkata:
“Duduklah dengan duduk penuh adab. Jangan engkau luruskan kakimu di hadapannya,
ini termasuk adab yang jelek. Jangan duduk dengan bersandar, ini juga adab yang
jelek apalagi di tempat belajar. Lain halnya jika engkau duduk di tempat umum,
maka ini lebih ringan.” (at-Ta’liq as-Tsamin hal. 181)
·
Bertanya kepada guru
Ilmu adalah bertanya dan menjawab. Dahulu dikatakan,
“Bertanya dengan baik adalah setengah ilmu.” (Fathul Bari 1/142). Bertanya
dengan tenang, tidak tergesa-gesa dan pergunakanlah bahasa yang santun lagi
sopan. Jangan guru itu dipanggil dengan namanya, katakanlah wahai guruku dan
semisalnya. Karena guru perlu dihormati, jangan disamakan dengan teman. Alloh
berfirman;
لَا
تَجْعَلُوا دُعَاء الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاء بَعْضِكُم بَعْضاً
Artinya :
“ Janganlah kamu jadikan panggilan Rosul di antara
kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada seba-hagian (yang lain)” (QS. an-Nur
[24]: 63).
Ayat ini adalah pokok untuk membedakan
orang yang punya kedudukan dengan orang yang biasa. Harap dibedakan keduanya. (al-Faqih
wal Mutafaqqih, Adab at-Tatalmudz hal. 52).
Perhatian. Sering kita jumpai sebagian
para penuntut ilmu memaksa gurunya untuk menjawab dengan dalil atas sebuah
pertanyaan. Seolah-olah sang murid belum puas dan terus mendesak seperti
berkata kenapa begini, soya belum terima, siapa yang berkata demikian, semua
ini harus dihindari. Pahamilah wahai saudaraku, guru adalah manusia biasa, bisa
lupa dan bersalah. Apabila engkau pandang gurumu salah atau lupa dengan
dalilnya maka janganlah engkau memaksa terus dan jangan memalingkan muka
darinya. Berilah waktu untuk mendatangkan dalil di kesempatan lain. Jagalah
adab ini, jangan sampai sang guru menjadi jemu, marah hanya karena melayani
pertanyaanmu.
Syaikh al-Albani berkata:
“Kadangkala seorang alim tidak bisa mendatangkan dalil atas sebuah pertanyaan,
khususnya apabila dalilnya adalah sebuah istinbat hukum yang tidak dinashkan
secara jelas dalam al-Qur’an dan Sunnah. Semisal ini tidak pantas bagi
penanya untuk terlalu mendalam bertanya akan dalilnya. Menyebutkan dalil adalah
wajib ketika realita menuntut demikian. Akan tetapi tidak wajib baginya
acapkali ditanya harus menjawab Allah berfirman demikian, Rosul bersabda demikian,
lebih-lebih dalam perkara fiqih yang rumit yang diperselisihkan. (Majalah
al-Asholah edisi. 8 hal. 76. Lihat at-Ta’liq as-Tsamin hal. 188)
·
Perhatikan keadaan gurumu
Memperhatikan keadaan guru merupakan
perkara yang penting. Karena mengajar butuh persiapan yang penuh. Jangan
bertanya atau meminta belajar ketika kondisi guru tidak siap, semisal sedang
sibuk, banyak permasalahan, sedih dan sebagainya.
Imam Nawawi rahimahullah berkata:
“Janganlah engkau meminta belajar kepadanya ketika dia sibuk, sedang sedih,
kelelahan, dan Iain-lain, karena hal itu akan menyebabkan dia malas untuk
menjelaskan pelajaran kepadamu.” (al-Majmu’ 1/86)
8.
Membela kehormatan guru
Ketahuilah selayaknya bagi siapa
saja yang mendengar orang yang sedang mengghibah kehormatan seorang muslim,
hendaklah dia membantah dan menasehati orang tersebut. Apabila tidak bisa diam
dengan lisan maka dengan tangan, apabila orang yang mengghibah tidak bisa
dinasehati juga dengan tangan dan lesan maka tinggalkanlah tempat tersebut.
Apabila dia mendengar orang yang mengghibah gurunya atau siapa saja yang
mempunyai kedudukan, keutamaan dan kesholihan, maka hendaklah dia lebih serius
untuk membantahnya. (Shohih al-Adzkar 2/832, Adab at-Tatalmudz hal.
33)
9.
Jangan berlebihan kepada guru
Guru adalah manusia biasa. Tidak
harus semua perkataannya diterima mentah-mentah tanpa menimbangnya menurut
kaidah syar’iah. Orang yang selalu manut terhadap perkataan guru, bahkan
sampai membela mati-matian ucapannya adalah termasuk sikap ghuluw (berlebih-lebihan).
Apabila telah jelas kekeliruan guru maka nasehatilah, jangan diikuti
kesalahannya. Jangan seorang guru dijadikan tandingan bagi Alloh dalam
syariat ini. Alloh berfirman;
اتَّخَذُواْ
أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ
مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً وَاحِداً لاَّ إِلَـهَ
إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Artinya :
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rohib-rohib
mereka se-bagai Robb-Robb selain Allah, dan (juga mereka
menjadikan Robb) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah
Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci
Alloh dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. at-Taubah [9]: 31)
Imam Mawardi rahimahullahmengatakan,
“Sebagian para pengikut orang alim berbuat ghuluw kepada gurunya. Hingga menjadikan
perkataannya sebagai dalil sekalipun sebenarnya tidak bisa dijadikan dalil.
Meyakini ucapannya sebagai hujjah sekalipun bukan hujjah.” (Adab Dunya hal.
49, Adab at-Tatalmudz hal. 38)
10. Bila guru
bersalah
Sudah menjadi ketetapan yang mapan
bahwasanya tidak ada seorang pun yang selamat dari kesalahan. Salah merupakan
hal yang wajar terjadi pada manusia. Rosululloh -SHI bersabda;
Seluruh bani Adam banyak bersalah. Dan sebaik-baiknya
orang yang banyak bersalah adalah yang bertaubat. (HR.
Tirmidzi 2499, Ibnu Majah 4251, Ahmad 3/198, ad-Darimi 273, Hakim 4/244; Lihat Shohih
Jami’us Shoghir 4515).
Imam Ibnul Qoyyim berkata:
“Barangsiapa yang mempunyai ilmu dia akan mengetahui dengan pasti bahwa orang
yang mempunyai kemuliaan, mempunyai peran dan pengaruh dalam Islam maka
hukumnya seperti ahli Islam yang lain. Kadang-kala dia tergelincir dan bersalah.
Orang yang semacam ini diberi udzur bahkan bisa diberi pahala karena
ijtihadnya, tidak boleh kesalahannya diikuti, kedudukannya tidak boleh
dilecehkan di hadapan manusia.” (I’lamul Muwaqqi’in 3/295)’
D.
Adab Terhadap Tetangga
1.
Definisi Tetangga
Kata Al Jaar (tetangga) dalam
bahasa Arab berarti orang yang bersebelahan denganmu. Ibnu Mandzur
berkata: “الجِوَار , الْمُجَاوَرَة dan الْجَارُ bermakna orang
yang bersebelahan denganmu. Bentuk pluralnya أَجْوَارٌ , جِيْرَةٌ dan جِيْرَانٌ”. Sedang secara istilah syar’i
bermakna orang yang bersebelahan secara syar’i baik dia seorang muslim atau
kafir, baik atau jahat, teman atau musuh, berbuat baik atau jelek, bermanfaat
atau merugikan dan kerabat atau bukan.
Tetangga memiliki tingkatan,
sebagiannya lebih tinggi dari sebagian yang lainnya, bertambah dan berkurang
sesuai dengan kedekatan dan kejauhannya, kekerabatan, agama dan ketakwaannya
serta yang sejenisnya.
Adapun batasannya masih diperselisihkan para ulama, di
antara pendapat mereka adalah:
1. Batasan tetangga yang
mu’tabar adalah 40 rumah dari semua arah.
2. sepuluh rumah dari
semua arah.
3. orang yang mendengar
azan adalah tetangga.
4. tetangga adalah yang
menempel dan bersebelahan saja.
5. batasannya adalah
mereka yang disatukan oleh satu masjid.
Yang lebih kuat, insya Allah,
batasannya kembali kepada adat yang berlaku. Apa yang menurut adat adalah
tetangga maka itulah tetangga. Wallahu A’lam.
Dengan demikian jelaslah tetangga
rumah adalah bentuk yang paling jelas dari hakikat tetangga, akan tetapi
pengertian tetangga tidak hanya terbatas pada hal itu saja bahkan lebih luas
lagi. Karena dianggap tetangga juga tetangga di pertokoan, pasar, lahan
pertanian, tempat belajar dan tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya
ketetanggaan. Demikian juga teman perjalanan karena mereka saling bertetanggaan
baik tempat atau badan dan setiap mereka memiliki kewajiban menunaikan hak
tetangganya.
2.
Wasiat Islam Terhadap Tetangga
مَا زَالَ
يُوصِينِي جِبْرِيلُ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Jibril senantiasa berwasiat kepadaku dengan tetangga
sehingga aku menyangka tetangga tersebut akan mewarisinya.”
Hadits yang agung ini menunjukkan
urgensi dan kedudukan tetangga dalam Islam. Tetangga memiliki kedudukan arti
penting dan hak-hak yang harus diperhatikan setiap muslim. Sehingga dengan
demikian konsep Islam sebagai rahmat untuk alam semesta dapat direalisasikan
dan dirasakan oleh setiap manusia.
Islam telah berwasiat untuk
memuliakan tetangga dan menjaga hak-haknya, bahkan Allah menyambung hak
tetangga dengan ibadah dan tauhid-Nya serta berbuat bakti kepada kedua orang
tua, anak yatim dan kerabat, sebagaimana firman-Nya:
وَاعْبُدُوا
اللهَ وَلاَتُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي
الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ
الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَامَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا
Artinya :
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang
ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang
dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri.” (QS. Annisaa’: 36)
Hal ini menunjukkan wasiat dengan
tetangga tersebut meliputi penjagaan, berbuat baik kepadanya, tidak berbuat
jahat dan mengganggunya, selalu bertanya tentang keadaannya dan memberikan
kebaikan kepadanya. Ini semua adalah bentuk perhatian dan motivasi syariat
dalam menjaga dan menunaikan hak-hak mereka. Bahkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menetapkan pelanggaran kehormatan tetangga sebagai salah
satu dosa terbesar dalam sabdanya ketika ditanya:
Dosa apa yang terbesar di sisi
Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Menjadikan sekutu
tandingan Allah, padahal Allah yang menciptakanmu.” Saya (Ibnu Mas’ud)
bertanya: “Kemudian apa?” beliau menjawab: “Kemudian membunuh anakmu karena
khawatir dia makan bersamamu” lalu saya bertanya lagi: “Kemudian apa?” beliau
menjawab: “Berzina dengan istri tetanggamu.”
3.
Hak-Hak Tetangga
Telah jelas tetangga memiliki hak
yang besar dan kedudukan yang tinggi dalam islam. Hak-hak mereka kalau dirinci
akan sangat banyak sekali, akan tetapi semuanya dapat dikembalikan kepada empat
hak yaitu:
·
Pertama, berbuat
baik (ihsan) kepada mereka.
Berbuat baik dalam segala sesuatu
adalah karakteristik islam, demikian juga pada tetangga. Imam Al Marwazi
meriwayatkan dari Al Hasan Al Bashriy pernyataan beliau: “Tidak mengganggu
bukan termasuk berbuat baik kepada tetangga akan tetapi berbuat baik terhadap
tetangga dengan sabar atas gangguannya.” Sehingga Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sebaik-baiknya sahabat di sisi
Allah adalah yang paling baik kepada sahabatnya. Dan sebaik-baik tetangga di
sisi Allah adalah yang paling baik pada tetangganya.”
Di antara ihsan kepada tetangga
adalah memuliakannya. Sikap ini menjadi salah satu tanda kesempurnaan iman
seorang muslim.Di antara bentuk ihsan yang lainnya adalah ta’ziyah ketika
mereka mendapat musibah, mengucapkan selamat ketika mendapat kebahagiaan,
menjenguknya ketika sakit, memulai salam dan bermuka manis ketika bertemu
dengannya dan membantu membimbingnya kepada hal-hal yang bermanfaat dunia
akhirat serta memberi mereka hadiah. Aisyah radhiallahu ‘anha bertanya
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنَّ لِي جَارَيْنِ فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي قَالَ إِلَى
أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا
“Wahai Rasulullah saya memiliki dua tetangga lalu
kepada siapa dari keduanya aku memberi hadiah? Beliau menjawab: kepada yang
pintunya paling dekat kepadamu.”
·
Kedua, sabar
menghadapi gangguan tetangga.
Ini adalah hak kedua untuk tetangga
yang berhubungan erat dengan yang pertama dan menjadi penyempurnanya. Hal ini
dilakukan dengan memaafkan kesalahan dan perbuatan jelek mereka, khususnya
kesalahan yang tidak disengaja atau sudah dia sesali kejadiannya.
Hasan Al Bashri berkata: “Tidak
mengganggu bukan termasuk berbuat baik kepada tetangga akan tetapi berbuat baik
terhadap tetangga dengan sabar atas gangguannya.” Sebagian ulama berkata: “Kesempurnaan
berbuat baik kepada tetangga ada pada empat hal, (1) senang dan bahagia dengan
apa yang dimilikinya, (2) Tidak tamak untuk memiliki apa yang dimilikinya, (3)
Mencegah gangguan darinya, (4) Bersabar dari gangguannya.”
·
Ketiga, menjaga
dan memelihara tetangga.
Imam Ibnu Abi Jamroh berkata: “Menjaga
tetangga termasuk kesempurnaan iman. Orang jahiliyah dahulu sangat menjaga hal
ini dan melaksanakan wasiat berbuat baik ini dengan memberikan beraneka ragam
kebaikan sesuai kemampuan; seperti hadiah, salam, muka manis ketika bertemu,
membantu memenuhi kebutuhan mereka, menahan sebab-sebab yang mengganggu mereka
dengan segala macamnya baik jasmani atau maknawi. Apalagi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meniadakan iman dari orang yang selalu
mengganggu tetangganya. Ini merupakan ungkapan tegas yang mengisyaratkan
besarnya hak tetangga dan mengganggunya termasuk dosa besar.”
·
Keempat, tidak
mengganggu tetangga.
Telah dijelaskan di atas akan
kedudukan tetangga yang tinggi dan hak-haknya terjaga dalam islam. Oleh karena
itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan dengan keras
upaya mengganggu tetangga, sebagaimana dalam sabda beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam:
“Tidak demi Allah tidak beriman,
tidak demi Allah tidak beriman, tidak demi Allah tidak beriman mereka bertanya:
siapakah itu wahai Rasulullah beliau menjawab: orang yang tetangganya tidak
aman dari kejahatannya.” (HR. Bukhori)
Demikian juga dalam hadits yang lain beliau bersabda:
مَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir
maka janganlah mengganggu tetangganya.”
E.
Adab Terhadap Tamu
Di antara
kelaziman hidup bermasyarakat adalah budaya saling mengunjungi atau bertamu,
yang dikenal dengan isitilah silaturrahmi oleh kebanyakan masyarakat. Walaupun
sesungguhnya istilah silaturrahmi itu lebih tepat (dalam syari’at) digunakan
khusus untuk berkunjung/ bertamu kepada sanak famili dalam rangka mempererat
hubungan kekerabatan.Namun, bertamu, baik itu kepada sanak kerabat, tetangga,
relasi, atau pihak lainnya, bukanlah sekedar budaya semata melainkan termasuk
perkara yang dianjurkan di dalam agama Islam yang mulia ini. Karena
berkunjung/bertamu merupakan salah satu sarana untuk saling mengenal dan
mempererat tali persaudaraan terhadap sesama muslim. Allah berfirman: “Wahai
manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan
perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku, supaya
kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian
di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa.” (Al Hujurat: 13)
Berikut ini adalah adab-adab yang
berkaitan dengan tamu dan bertamu. Kami membagi pembahasan ini dalam dua
bagian, yaitu adab bagi tuan rumah dan adab bagi tamu.
·
Adab Bagi Tuan Rumah
- Ketika
mengundang seseorang, hendaknya mengundang orang-orang yang bertakwa,
bukan orang yang fajir (bermudah-mudahan dalam dosa), sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ
تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا,وَلاَ يَأْكُلُ طَعَامَك َإِلاَّ تَقِيٌّ
“Janganlah
engkau berteman melainkan dengan seorang mukmin, dan janganlah memakan
makananmu melainkan orang yang bertakwa!” (HR. Abu
Dawud dan Tirmidzi)
- Tidak
mengkhususkan mengundang orang-orang kaya saja, tanpa mengundang orang
miskin, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
شَرُّ
الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الأَغْنِيَاءُ ، وَيُتْرَكُ
الْفُقَرَاءُ
“Sejelek-jelek
makanan adalah makanan walimah di mana orang-orang kayanya diundang dan
orang-orang miskinnya ditinggalkan.” (HR. Bukhari Muslim)
- Tidak
mengundang seorang yang diketahui akan memberatkannya kalau diundang.
- Disunahkan
mengucapkan selamat datang kepada para tamu sebagaimana hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya tatkala
utusan Abi Qais datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Beliau bersabda,
مَرْحَبًا
بِالْوَفْدِ الَّذِينَ جَاءُوا غَيْرَ خَزَايَا وَلاَ نَدَامَى
“Selamat
datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa terhina dan menyesal.” (HR.
Bukhari)
- Menghormati
tamu dan menyediakan hidangan untuk tamu makanan semampunya saja. Akan
tetapi, tetap berusaha sebaik mungkin untuk menyediakan makanan yang
terbaik. Allah ta’ala telah berfirman yang mengisahkan Nabi Ibrahim ‘alaihis
salam bersama tamu-tamunya:
فَرَاغَ
إِلىَ أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِيْنٍ . فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ آلاَ تَأْكُلُوْنَ
“Dan Ibrahim
datang pada keluarganya dengan membawa daging anak sapi gemuk kemudian ia
mendekatkan makanan tersebut pada mereka (tamu-tamu Ibrahim-ed) sambil berkata:
‘Tidakkah kalian makan?’” (Qs. Adz-Dzariyat: 26-27)
- Dalam
penyajiannya tidak bermaksud untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga,
tetapi bermaksud untuk mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para Nabi sebelum beliau, seperti Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.
Beliau diberi gelar “Abu Dhifan” (Bapak para tamu) karena betapa mulianya
beliau dalam menjamu tamu.
- Hendaknya
juga, dalam pelayanannya diniatkan untuk memberikan kegembiraan kepada
sesama muslim.
- Mendahulukan
tamu yang sebelah kanan daripada yang sebelah kiri. Hal ini dilakukan
apabila para tamu duduk dengan tertib.
- Mendahulukan
tamu yang lebih tua daripada tamu yang lebih muda, sebagaimana sabda
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ لَمْ
يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُجِلَّ كَبِيْرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barang
siapa yang tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami serta tidak menghormati
yang lebih tua dari kami bukanlah golongan kami.” (HR Bukhari
dalam kitab Adabul Mufrad). Hadits ini menunjukkan perintah untuk menghormati
orang yang lebih tua.
- Jangan
mengangkat makanan yang dihidangkan sebelum tamu selesai menikmatinya.
- Di
antara adab orang yang memberikan hidangan ialah mengajak mereka
berbincang-bincang dengan pembicaraan yang menyenangkan, tidak tidur
sebelum mereka tidur, tidak mengeluhkan kehadiran mereka, bermuka manis
ketika mereka datang, dan merasa kehilangan tatkala pamitan pulang.
- Mendekatkan
makanan kepada tamu tatkala menghidangkan makanan tersebut kepadanya
sebagaimana Allah ceritakan tentang Ibrahim ‘alaihis salam,
فَقَرَّبَهُ
إِلَيْهِمْ
“Kemudian
Ibrahim mendekatkan hidangan tersebut pada mereka.” (Qs. Adz-Dzariyat:
27)
- Mempercepat
untuk menghidangkan makanan bagi tamu sebab hal tersebut merupakan
penghormatan bagi mereka.
- Merupakan
adab dari orang yang memberikan hidangan ialah melayani para tamunya dan
menampakkan kepada mereka kebahagiaan serta menghadapi mereka dengan wajah
yang ceria dan berseri-seri.
- Adapun
masa penjamuan tamu adalah sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,
الضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ
وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيَْلَةٌ وَلاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُقيْمَ
عِنْدَ أَخِيْهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ قاَلُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ
يُؤْثِمَهُ؟ قَالَ :يُقِيْمُ عِنْدَهُ وَلاَ شَيْئَ لَهُ
يقْرِيْهِ بِهِ
“Menjamu
tamu adalah tiga hari, adapun memuliakannya sehari semalam dan tidak halal bagi
seorang muslim tinggal pada tempat saudaranya sehingga ia menyakitinya.” Para
sahabat berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana menyakitinya?” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sang tamu tinggal bersamanya sedangkan
ia tidak mempunyai apa-apa untuk menjamu tamunya.”
- Hendaknya
mengantarkan tamu yang mau pulang sampai ke depan rumah.
·
Adab Bagi Tamu
- Bagi
seorang yang diundang, hendaknya memenuhinya sesuai waktunya kecuali ada
udzur, seperti takut ada sesuatu yang menimpa dirinya atau agamanya. Hal
ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ دُعِىَ
فَلْيُجِبْ
“Barangsiapa
yang diundang maka datangilah!” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
وَمَنْ
تَرَكَ الدَّعْـوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ
“Barang
siapa yang tidak memenuhi undangan maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan
Rasul-Nya.” (HR. Bukhari)
Untuk
menghadiri undangan maka hendaknya memperhatikan syarat-syarat berikut:
·
Orang yang mengundang bukan orang
yang harus dihindari dan dijauhi.
·
Tidak ada kemungkaran pada tempat
undangan tersebut.
·
Orang yang mengundang adalah muslim.
·
Penghasilan orang yang mengundang
bukan dari penghasilan yang diharamkan. Namun, ada sebagian ulama menyatakan
boleh menghadiri undangan yang pengundangnya berpenghasikan haram.
Dosanya bagi orang yang mengundang, tidak bagi yang diundang.
·
Tidak menggugurkan suatu kewajiban
tertentu ketika menghadiri undangan tersebut.
·
Tidak ada mudharat bagi orang yang
menghadiri undangan.
- Hendaknya
tidak membeda-bedakan siapa yang mengundang, baik orang yang kaya ataupun
orang yang miskin.
- Berniatlah
bahwa kehadiran kita sebagai tanda hormat kepada sesama muslim.
Sebagaimana hadits yang menerangkan bahwa,
“Semua amal tergantung niatnya, karena setiap orang tergantung
niatnya.” (HR. Bukhari Muslim)
- Masuk
dengan seizin tuan rumah, begitu juga segera pulang setelah selesai
memakan hidangan, kecuali tuan rumah menghendaki tinggal bersama mereka,
hal ini sebagaimana dijelaskan Allah ta’ala dalam firman-Nya:
يَاأََيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ
تَدْخُـلُوْا بُيُـوْتَ النَّبِي ِّإِلاَّ أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَـعَامٍ
غَيْرَ نَاظِـرِيْنَ إِنهُ وَلِكنْ إِذَا دُعِيْتُمْ فَادْخُلُوْا فَإِذَا
طَعِمْتُمْ فَانْتَشِـرُوْا وَلاَ مُسْتَئْنِسِيْنَ لِحَدِيْثٍ إَنَّ ذلِكُمْ
كَانَ يُؤْذِى النَّبِيَّ فَيَسْتَحِي مِنْكُمْ وَاللهُ لاَ يَسْتَحِي مِنَ
اْلحَقِّ
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila
kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak makanannya!
Namun, jika kamu diundang, masuklah! Dan bila kamu selesai makan, keluarlah
kamu tanpa memperpanjang percakapan! Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu
Nabi. Lalu, Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar. Dan Allah tidak malu
menerangkan yang benar.” (Qs. Al Azab: 53)
- Apabila
kita dalam keadaan berpuasa, tetap disunnahkan untuk menghadiri undangan
karena menampakkan kebahagiaan kepada muslim termasuk bagian ibadah.
Puasa tidak menghalangi seseorang untuk menghadiri undangan, sebagaimana
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إذَا دُعِىَ
أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَاِئمًا فَلْيُصَِلِّ وِإِنْ كَانَ
مُفْـطِرًا فَلْيُطْعِمْ
“Jika salah
seorang di antara kalian di undang, hadirilah! Apabila ia puasa, doakanlah! Dan
apabila tidak berpuasa, makanlah!” (HR. Muslim)
- Seorang
tamu meminta persetujuan tuan untuk menyantap, tidak melihat-lihat ke arah
tempat keluarnya perempuan, tidak menolak tempat duduk yang telah
disediakan.
- Termasuk
adab bertamu adalah tidak banyak
melirik-lirik kepada wajah orang-orang yang sedang makan.
- Hendaknya
seseorang berusaha semaksimal mungkin agar tidak memberatkan tuan rumah,
sebagaimana firman Allah ta’ala dalam ayat di atas: “Bila kamu selesai
makan, keluarlah!” (Qs. Al Ahzab: 53)
- Sebagai
tamu, kita dianjurkan membawa hadiah untuk tuan rumah karena hal ini dapat
mempererat kasih sayang antara sesama muslim,
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Berilah hadiah di antara kalian! Niscaya
kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)
10.
Jika seorang tamu datang bersama
orang yang tidak diundang, ia harus meminta izin kepada tuan rumah dahulu,
sebagaimana hadits riwayat
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
كَانَ مِنَ اْلأَنْصَارِ رَجـُلٌ
يُقَالُ لُهُ أَبُوْ شُعَيْبُ وَكَانَ لَهُ غُلاَمٌ لِحَامٌ فَقَالَ اِصْنَعْ لِي
طَعَامًا اُدْعُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ
فَدَعَا رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ
فَتَبِعَهُمْ رَجُلٌ فَقَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّكَ دَعَوْتَنَا خَامِسَ خَمْسَةٍ وَهذَا رَجُلٌ قَدْ تَبِعَنَا فَإِنْ شِئْتَ
اْذَنْ لَهُ وَإِنْ شِئْتَ تَرَكْتُهُ قَالَ بَلْ أَذْنْتُ لَهُ
“Ada seorang
laki-laki di kalangan Anshor yang biasa dipanggil Abu Syuaib. Ia mempunyai
seorang anak tukang daging. Kemudian, ia berkata kepadanya, “Buatkan aku
makanan yang dengannya aku bisa mengundang lima orang bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengundang empat orang yang orang kelimanya adalah beliau. Kemudian, ada
seseorang yang mengikutinya. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata, “Engkau mengundang kami lima orang dan orang ini mengikuti kami. Bilamana
engkau ridho, izinkanlah ia! Bilamana tidak, aku akan meninggalkannya.”
Kemudian, Abu Suaib berkata, “Aku telah mengizinkannya.”" (HR.
Bukhari)
- Seorang
tamu hendaknya mendoakan orang yang memberi hidangan kepadanya setelah
selesai mencicipi makanan tersebut dengan doa:
أَفْطَرَ
عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ, وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارَ,وَصَلَّتْ
عَلَيْكُمُ اْلمَلاَئِكَةُ
“Orang-orang
yang puasa telah berbuka di samping
kalian. Orang-orang yang baik telah memakan makanan kalian. semoga malaikat
mendoakan kalian semuanya.” (HR Abu Daud, dishahihkan oleh Al
Albani)
اَللّهُـمَّ
أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي, وَاْسقِ مَنْ سَقَانِي
“Ya Allah
berikanlah makanan kepada orang telah yang memberikan makanan kepadaku dan
berikanlah minuman kepada orang yang telah memberiku minuman.” (HR.
Muslim)
اَللّهُـمَّ
اغْـفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ وَبَارِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُمْ
“Ya Allah
ampuni dosa mereka dan kasihanilah mereka serta berkahilah rezeki mereka.” (HR.
Muslim)
- Setelah
selesai bertamu hendaklah seorang tamu pulang dengan lapang dada,
memperlihatkan budi pekerti yang mulia, dan memaafkan segala kekurangan
tuan rumah.
F.
Adab Terhadap Sesama
Allah ta’ala berfirman :
âäHxÅzF{$# ¥Í´tBöqt óOßgàÒ÷èt/ CÙ÷èt7Ï9 <rßtã wÎ) úüÉ)FßJø9$# ÇÏÐÈ
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi
sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” ( Az-Zukhruf
: 67 )
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “seseorang itu sesuai agama teman dekatnya,
maka hendaknya dia melihat kepada siapakah dia berteman dekat”.
Di antara adab-adab pergaulan
bersama sesama saudara Muslim :
1.
Memilih Teman Bergaul Dan Teman
Duduk
Telah dikemukakan sebelumnya hadits
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu secara mar’fu’ : “Seseorang itu sesuai agama
teman dekatnya maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat bersama
siapakah dia berteman”
Sabda Nabi : “Dan janganlah
seseorang memakan makananmu kecuali seorang yang bertakwa”. Al-Khaththabi
berkata : “Larangan ini berlaku pada makanan undangan bukan makanan
hajat/kebutuhan, yang demikian itu karena Allah subhanahu berfirman :
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada
orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.( Al-Insan :
8 )
Dan teman dekat dan teman duduk yang
jelek akhlaknya memberikan bahaya yang nyata dan tidak diapat dihindari
bagaimana pun cara menjaganya, berdasarkan nash dari sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, Abu Musa Al-Asyari radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Pemisalan teman duduk yang
shalih dan yang jelek akhlaknya bagaikan penjual minyak wangi dan pandai besi,
penjual minyak wangi dia dapat memberimu minyak wangi atau kamu membeli darinya
minyak wangi atau kamu mendapatkan bau yang wangi, adapun pandai besi, dia
dapat membakar pakaianmu atau kamu mendapat bau yang tidak sedap darinya”.
- Mencintai
Karena Allah
Kedudukan Persaudaraan yang paling
agung adalah ketika hal itu karena Allah dan untuk Allah, tidak untuk
mendapatkan kedudukan, atau mendapatkan manfaat yang segera atau yang akan
datang, tidak karena mendapatkan materi, atau selainnya. Dan barang siapa
kecintaannya kepada temannya karena Allah dan persaudaraannya karena Allah
sungguh dia telah mencapai puncak tujuan, dan agar seseorang itu berhati-hati
jangan sampai kecintaannya tersebut terselip kepentingan-kepentingan duniawi
yang akan mengotori dan menyebabkan kerusakan persaudaraan.
Dan barang siapa kecintaannya karena
Allah maka hendaknya dia bergembira dengan janji Allah dan keselamatan dari
kedahsyaran hari dimana seluruh makhluk dikumpulkan pada hari kiamat. Dan dia
akan dimasukkan dibawah naungan Arsy Dzat yang Maha perkasa Jalla Jalaluhu.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah berfirman pada hari kiamat :
“Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku, pada hari ini
Aku akan menaungi mereka di dalam naunganku di hari tidak ada naungan selain
naungan-Ku”.
3.
Menampakkan Senyum, Bersikap Lembut
dan Kasih Sayang Kepada Sesama Saudara Seiman
Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, beliau
berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku : “Janganlah
seseorang itu meremehkan perbuatan ma’ruf sedikitpun, walaupun dia menjumpai
saudaranya dengan wajah yang berseri-seri”.
Sikap lemah lembut dan ramah dan
kasih sayang diantara hal-hal yang menguatkan ikatan diantara saudara, dan
memperdalam hubungan diantara mereka. Dimana “Allah mencintai lemah lembut di
dalam segala urusan”. Dan Allah subhanahu: “Maha lembut mencintai kelembutan
dan memberikan kepada orang yang lembut apa yang tidak dia berikan kepada orang
yang kasar dan apa yang tidak dia berikan kepada selain orang yang lembut”.
Dan selama hal itu demikan adanya,
maka saudara-saudara seiman lebih pantas dan lebih utama agar sebagian mereka
berprilaku lemah lembut kepada sebagian lainnya, dan agar sebagian mereka ramah
kepada sebagian lainnya.
- Disunnahkan
Memberi Nasihat Dan Hal Itu Termasuk Kesempurnaan Persaudaraan
Nasihat adalah tuntutan syar’i yang
dianjurkan oleh pembuat syariat. Dan merupakan bagian dari perkara-perkara yang
menjadi sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membai’at para sahabatnya.
Jarir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu
berkata “Saya membai’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar
menegakkan shalat, menunaikan zakat, memberi nasihat kepada setiap muslim”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menggandengkan tuntunan ini bersamaan dengan shalat dan zakat yang mana
keduanya bagian dari rukun islam, yang menunjukkan kepada kita akan besarnya
kedudukan tuntunan saling menasihati tersebut dan nilainya yang luhur.
Semisal disebutkan didalam hadits Tamim bin Aus
Ad-Dari radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda :
“Agama itu nasehat “.
Kami berkata : Kepada siapakah wahai
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Beliau bersabda : Kepada Allah,
kepada kitabnya, kepada rasulnya, pemimpin-pemimpin kaum muslimin dan seluruh
kaum muslimin”.
Dan sabda beliau : “agama itu nasehat”
yaitu : Bahwa nasehat adalah amalan yang paling utama dan yang paling sempurna
dalam agama.
- Saling
Tolong Menolong antar Sesama
Kita memiliki teladan dan contoh
dalam hal tersebut. Teladan yang paling besar tentang hal tersebut dari
–Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tidaklah sisi kerasulan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghalangi beliau untuk bersama-sama para
sahabatnya dan memberi bantuan kepada mereka. Diantara hal tersebut keikut
sertaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama sahabatnya ketika
membangun masjid Nabawi di Madinah.
- Sesama
Saudara semestinya saling Merendahkan diri diantara mereka dan tidak
sombong atau meremehkan yang Lain
Merendahkan diri itu sifat yang
dituntut dan juga diperintahkan. Sedangkan sifat angkuh adalah sifat yang
terlarang dan tercela.
‘Iyadh bin Himar radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah mewahyukan
kepadaku agar kalian merendahkan diri sampai tidak ada seorang pun meremehkan
orang lain dan seseorang merebut jualan orang lain”.
Sedangkan sifat meremehkan orang
lain dan sombong adalah jalan menuju kezhaliman, permusuhan dan kejahatan.
Dan tidak diragukan lagi bahwa
manusia bertingkat-tingkat keutamaannya di dalam masalah penghasilan, nasab dan
harta. Ini sudah merupakan sunnatullah pada makhluk. Bukanlah orang yang mulia
yang menjadikan dirinya mulia, dan bukanlah orang yang rendah dia yang
menjadikan dirinya rendah, demikian halnya bagi seorang yang fakir dan seorang
yang kaya raya. Melainkan hikmah Allah yang sempurna menetapkan hal tersebut –
Dan Allahlah yang menetapkan segala urusan makhluknya.
Dan bukan karena
bertingkat-tingkatnya kedudukan martabat manusia sehingga seseorang
diperbolehkan menganggap dirinya lebih tinggi dari pada selainnya atau
meremehkannya. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidaklah seseorang merendahkan diri
dihadapan Allah kecuali Allah akan mengangkat derajatnya”.
- Berakhlak
yang Terpuji :
Beruntung orang yang Allah pakaikan
pakaian akhlak yang terpuji. Karena tidak seorang pun yang diberikan akhlak
tersebut kecuali orang-orang akan menyebut dirinya dengan kebaikan, dan
derajatnya akan terangkat ditengah-tengah mereka. Akhlak yang terpuji
diantaranya dengan wajah yang berseri-seri, bersabar ketika mendapatkan
gangguan, menahan marah, dan selainnya daripada kepribadian dan perangai yang
terpuji.
Ibnu Manshur berkata : Saya bertanya
kepada Abu Abdillah : Tentang akhlak yang baik. Berkata berkata : Agar kamu
tidak marahdan tidak kasar.
Dan diantara doa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika istiftah “Dan tunjukanlah kepadaku akhlak yang baik
yang tidak ada yang dapat menunjukkan kepada akhlak yang baik kecuali Engkau,
dan palingkanlah dariku akhlak yang jelek tidak ada yang memalingkan aku dari
akhlak yang jelek kecuali Engkau”.
- Hati
Yang Selamat
Diantara doa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam : “Lepaskanlah kedengkian di dalam hatiku” dan dalam riwayat
At-Tirmidzi “Dan lepaskanlah kedengkian di dalam dadaku”.
Kepribadian dan perilaku yang sangat
luhur kedudukannya ini, ternyata sedikit orang berhias dengannya. Disebabkan
jiwa manusia akan sangat sulit untuk lepas dari segala jeratannya, dan untuk
mengalah dari hak-haknya bagi selainnya. Bersamaan itu pula, banyak manusia
terjatuh perbuatan aniaya dan kezhaliman. Apabila seseorang menjumpai
kezhaliman manusia, kejahilan dan kesewenang-wenangan mereka dengan hati yang
selamat, dan tidak menghadapi kejahatan mereka dengan perbuatan kejahatan
semisalnya, dan tidak dengki kepada mereka, niscaya dia akan mendapatkan
kedudukan yang tinggi berupa akhlak yang tinggi dan perangai yang luhur.
Hal mulia ini jarang dan sedikit
sekal dijumpai pada manusia, akan tetapi hal itu mudah bagi orang yang Allah
mudahkan. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Orang yang beriman adalah seorang
yang baik dan berperangai terpuji. Sedangkan orang yang fajir adalah orang yang
jelek dan jahat perangainya”. Sabda Nabi : “Orang yang beriman adalah seorang
yang baik dan berperangai terpuji “, Al-Mubarakfuri mengatkaan: “ Di dalam
An-Nihayah : Yaitu bukan orang yang slalu membuat makar, dan dia tunduk karena
ketaatan dan kelembutannya, dan lawan kata dari al-khabbu –
jahat/pembuat makar -. Maksudnya bahwa orang yang beriman yang terpuji diantara
tabiatnya adalah al-ghararah (yang baik hati), tidak berlaku culas demi
perbuatan jelek dan menolak untuk mencari-cari kejelekan. Bukan dikarenakan
Kebodohan pada dirinya, akan tetapi karena sifat mulia dan akhlaknya yang
terpuji. Demikian yang dijelaskan dalam kitab Al-Mirqah.
- Berbaik
Sangka Kepada saudara Dan Tidak Memata-Matai Mereka
Sebagaimana disebutkan pada sebuah
hadits bahwa Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah kalian berprasangka karena prasangka
itu perkataan yang paling dusta, dan janganlah kalian mencari-cari berita dan
memata-matai al-hadits”.
Maksud larangan prasangka disini
adalah larangan terhadap prasangka buruk. Al-Khaththabi berkata : “Yaitu
menerima dan membenarkan setiap persangkaan tanpa ada kekhawatiran di dalam
hati, maka sesungguhnya hal itu tidak terkendali.
Maka hal tersebut dilarang, dan
hadits ini sesuai dengan firman Allah ta’ala :
“ Jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan),
Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari
keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.” (
Al-Hujurat : 12 )
Konteks ayat menunjukkan perintah
menjaga harga diri seorang muslim dengan sebenar-benarnya penjagaan. Karena
penempatan larangan yang didahulukan daripada tenggelam dalam sebuah prasangka.
Apabila orang yang berprasangka berkata : Saya akan membahasnya agar saya
mengetahui fakta yang sebenarnya, dikatakan kepadanya : “janganlah kamu
memata-matai” maka apabila terjadi tanpa memata-matai, maka akan dikatakan
kepadanya :
” Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain”.
- Memaafkan
Kesalahan Dan Menahan Marah
Ketika bercampur dan bergaul bersama
manusia mau tidak mau- ada padanya sesuatu kekurangan dan perlakuan yang
melampui batas dari sebagian mereka kepada sebagian lainya apakah itu dengan
perkatan maupun perbuatan, maka disunnahkan bagi orang yang terzhalimi agar
menahan marah dan memaafkan orang yang menyzhaliminya, Allah ta’ala berfirman :
“ Dan (bagi)
orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan
apabila mereka marah mereka memberi maaf. ( Asy-Syura
: 37 )
Dan Allah ta’ala berfirman :
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan
(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” ( Ali Imran
: 134 )
Dan tentang fiman Allah : “Dan
orang-orang yang menahan amarahnya” yaitu : Apabila mereka mendapatkan
gangguan dari orang lain sehingga menyebabkan kemarahan mereka dan hati mereka
telah penuh dengan kekesalan, yang mengharuskan membalasnya dengan perkataan
dan perbuatan, mereka tidak mengamalkan kosukuensi tabiat manusia tersebut.
Bahkan mereka menahan amarah yang
ada pada mereka lalu bersabar tidak membalas orang yang berbuat jahat
kepadanya. Dan firman Allah : “Dan orang-orang yang memaafkan orang lain“,
masuk di dalam perkara memaafkan manusia, yaitu memaafkan dari setiap orang
yang berbuat jahat kepadanya dengan perkataan atau perbuatan. Memaafkan lebih
sempurna daripada menahan marah, karena memaafkan itu meninggalkan pembalasan
bersamaan dengan adanya kerelaan terhadap orang yang berbuat jahat. Sebagaimana
Allah ta’ala berfirman :
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa,
Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik. Maka pahalanya atas (tanggungan)
Allah.. ( Asy-Syura : 40 ).
Memaafkan kesalahan, keteledoran dan
perbuatan aniaya bukanlah kelemahan dan bukan pula kekurangan, bahkan hal itu
adalah perbuatan yang tinggi nilainya bagi orang yang melakukannya dan
merupakan perbuatan mulia, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Shadaqah tidaklah
mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambahkan kepada seorang yang memberi
ma’af kecuali kemuliaan, dan tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah
kecuali Allah akan tinggikan derajatnya” dan pada lafazh riwayat Ahmad :
“Tidaklah seseorang memberi maaf dari perbuatan aniaya kecuali Allah tambahkan
bagi kemuliaan”.
Dan orang-orang yang saling
bersaudara karena Allah sangat pantas bagi mereka agar saling memberi maaf atas
kesalahan sebagian mereka, dan orang yang berbuat baik dari mereka memberi maaf
kepada mereka yang melakukan kesalahan..
- Larangan
Saling Hasad dan Saling Membenci Dan Memboikot :
Hal ini dijelaskan didalam hadits
Anas radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda
: “Janganlah kalian saling membenci dan saling hasad, saling memboikot dan
jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara, tidak halal bagi seorang muslim
memboikot saudaranya yang lain diatas tiga hari”.
Hasad itu ada dua macam terpuji dan
tercela. Hasad yang tercela adalah menginginkan hilangnya nikmat yang ada pada
orang lain, dan hal ini adalah perbuatan zhalim, aniaya dan permusuhan. Hasad
dan yang terpuji adalah Al-Ghibthah yaitu menginginkan nikmat yang
serupa yang ada pada orang lain tanpa adanya keinginan hilang nikmat tersebut
padanya.
Inilah yang dimaksudkan di dalam sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak ada hasad kecuali pada dua perkara :
seseorang yang Allah berikan kepadanya Al-Qur`an dan dia mengamalkannya
sepanjang malam, dan seseorang yang Allah berikan kepadanya harta dan dia
bersedekah dengannya sepanjang hari dan sepanjang malam”.
Saling membenci adalah lawan dari
saling mencintai, dan makna At-Tadabur adalah memboikot.
- Larangan
panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk
Termasuk penyakit lisan yang bisa
mendatangkan dosa, mengobarkan kemarahan dan menyebabkan perpecahan diantara
sesama sudara, yaitu, panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk, memberi
gelar kepada orang lain dengan gelar-gelar yang buruk lagi tercela, mereka
saling mencela dengannya, dan ditertawakan atasnya dari celaan tersebut,
padanya ada larangan dari Allah Maha Mulia diatas Ketinggian-Nya, Allah Ta’ala
berfirman:
“Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan
gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk
sesudah iman.” ( Al-Hujurat :11).
Dan seorang muslim berhak dengan keselamatan
muslim yang lain dari lisan dan tangannya.
Abu Jubairah bin Adh-Dhahak
radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, beliau berkata : Ayat ini diturunkan kepada
Bani Salamah :
“Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan
gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk
sesudah iman.” Beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mendatangi kami dan tidaklah salah seorang dari kami kecuali dia
mempunyai dua atau tiga nama, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil
dengan “Wahai fulan.” Maka para sahabat berkata : Apa itu wahai Rasulullah,
sesungguhnya dia akan marah dengan nama tersebut, maka turunlah ayat ini :
“Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” (
Al-Hujurat :11).
Mayoritas masyarakat sekarang pada
saat ini banyak terjerumus kedalamnya, berupa kelaliman dengan perkataan,
berbuat dosa dengan lisan dan merusak lisan tersebut. Dan berlepas diri dari
orang yang menyakiti dengan lisannya dan menahannya dari menjaga kehormatan
kaum muslimin, agar mereka tidak memperoleh keburukan, semoga Allah menjaga
kita dan anda semua dari kerusakan lisan dan kekhilafannya.
- Disenangi
mengadakan ishlah (perbaikan) antar sesama saudara
Tidak dapat dielakkan lagi adanya
beberapa perselisihan dan pertengkaran diantara saudara, dari yang sudah barang
tentu menyebabkan percekcokan dan permusuhan antara mereka. Telah disepakati
pada masyarakat orang yang dijadikan oleh Allah sebagai perantara untuk
mengadakan perbaikan antara orang-orang yang saling memutuskan hubungan dan
orang-orang yang saling berselisih. Diriwayatkan dari Abu Darda’ radhiallahhu
‘anhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Apakah kalian mau aku beritahukan dengan apa yang lebih utama daripada derajat
puasa, shalat dan shadaqah?” Para sahabat menjawab : Iya.beliau bersabda :
“(Mengadakan) kebaikan dzatul-bain (antara sesama), sesungguhnya kerusakan
antara sesama adalah kebinasaan.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : ”Setiap ruas dari seseorang padanya ada shadaqah, dan setiap
hari yang terbit padanya matahari dan dia berbuat adil antara dua orang padanya
ada shadaqah…al-hadits.” Pada riwayat yang lain : “dan setiap hari yang terbit
padanya matahari dan dia berbuat adil antara dua sesama manusia ada shadaqah.”
Dan Ulul albab – kaum cerdik
pandai – sepantasnya mereka menjadi pendahulu untuk perbaikan sesama manusia,
dan tidak sepantasnya mereka menjauhkan diri darinya, berpaling dari jalan
perbaikan setelah mengetahui besarnya pahala yang terdapat padanya.
- Keharaman
mengungkit-ungkit pemberian
Sejumlah ayat dan hdits telah
menetapkan hukum haram dari perbuatan mengungkit-ungkit pemberian, seperti
didalam firman Allah ta’ala:
“ Dan mereka yangmenginfakkan harta mereka dijalan
Allah, kemudian tidak mengikuti pemberian tersebut dengan sifat
mengungkit-ungkit pemberian ataukah untuk menyakiti sipenerima … “ (
Al-Baqarah : 262 ).
Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam , dari hadits Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, beliau bersabda: “ Ada tiga
golongan yang mana Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat,
tidak akan melihat kepada mereka dan Allah tidak akan mensucikan mereka dan
bagi mereka adzab yang pedih. Abu Dzar berkata: Kemudian Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengulanginya sebanyak tiga kali.” Abu Dzar berkata : “
Celakalah dan merugilah mereka, siapakah mereka ini wahai Rasulullah ?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “ Seorang yang memanjangkan kainnya melewati mata kaki, seorang yang
selalu mengungkit-ungkit pemberiannya, dan seseorang yang menginfakkan
barangnya dengan sumpah dusta “
Dan juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dari hadits Abdullah bin Amru radhiallahu ‘anhuma, beliau bersabda: “ Tidak
akan masuk surga seorang yang selalu mengungkit-ungkit pemberiannya, dan juga
seorang yang durhaka dan seseorang yang kecanduan minum khamar “
- Menjaga
rahasia dan tidak menyebarluaskannya
Dan ini termasuk amanah yang wajib
untuk dijaga dan disembunyikan. Seseorang yang menyebarluaskan rahasia
tergolong seorang yang mengkhianati amanah. Dan perbuatan tersebut salah satu
dari sifat orang-ornag munafik.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Tanda
seorang munafik ada tiga: Apabila dia berkata dia berdusta, apabila dia
berjanji maka dia menyalahinya dan apabila dia diserahi amanah maka dia
berkhianat.
Suatu yang rahasia, wajib untuk
disembunyikan dan tidak disampaikan kepada semua kaum manusia atau disebarkan.
Ini tergolong anjuran syariat dan perhatian syara agar kaum manusia menjaga
segala persoalan rahasia mereka, dimana menengoknya seorang pembicara untuk
memastikan tempat tersebut tersembunyi, sederajat dengan perkataannya: Ini
adalah sbeuah rahasia maka sembunyikanlah rahasiaku ini.
- Celaan
kepada seseorang yang bermuka dua
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah menerangkan maksud dari seorang yang bermuka dua, di dalam sabda beliau:
“ Engkau akan mendapatkan orang yang paling buruk disisi Allah pada hari kiamat
adalah seseorang yang bermuka dua. Yaitu seseorang yang menjumpai suatu kaum
denganwajah demikian lalu kaum lainnya dengan wajah berbeda.
Seseorang yang bermuka dua,
dikategorikan sebagai manusia yang paling buruk, disebabkan keadaannya terseut
adalah kepribadian seorang munafik. Karena dia mencari muka dengan kebatilan
dan kedustaaan dan menyisipkan kerusakan ditengah-tengah kaum manusia.
An-Nawawi mengatakan: “ Dia adalah
seseorang yang mendatangi setiap pihak dengan suatu yang mereka senangi. Dan
menampakkan bahwa dirinya termasuk bagian dari mereka dan menyalahi lawan
mereka. Perbuataannya tersebut adalah nifak yang sebenarnya.”
Beliau lanjut mengatakan: “ Adapun yang melakukannya
dnegna tujuan mengadakan perdamaian antara kedua belah pihak maka perbuatan
trsbeut suatu yang terpuji. “ Selain dari beliau mengatakan: “ Perbedaan antara
keduanya, bahwa yang tercela adalah seseorang yang membenarkan amalan suatu
kelompok dan mencelanya dihadapan kelompok lainnya. Dan setiap kelompok
dicelanya dihadapan kelompok lainnya. Sementara yang terpuji adalah seseorang
yang daang kepada masing-masing kelompok dengan ucapan yang penyiratkan
perdamaian kepada kelompok lainnya dan memintakan udzur masing-masing kelompok
tersebut dihadapan eklompok lainnya. Dan menyampaikan kepada kelompok tersebut
segala yang baik yang memungkinkan untuk disampakannya dan menutupi segala yang
buruk.
BAB III
SIMPULAN
1. Adab
ialah mencerminkan baik buruknya seseorang, mulia atau hinanya seseorang, terhormat
atau tercelanya nilai seseorang.
2. Adab
terhadap orang tua adalah taat kepada kedua orang tua dalam semua perintah dan
larangan keduanya, selama di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan kepada Allah,
dan pelanggaran terhadap syariat-Nya, karena manusia tidak berkewajibab taak
kepada manusia sesamanya dalam bermaksiat kepada Allah, Hormat dan menghargai
kepada keduanya, merendahkan suara dan memuliakan keduanya dengan perkataan dan
perbuatan yang baik, tidak menghardik dan tidak mengangkat suara di atas suara
keduanya, tidak berjalan di depan keduanya, tidak mendahulukan istri dan anak
atas keduanya, tidak memanggil keduanya dengan namanya namun memanggil keduanya
dengan panggilan, “Ayah, ibu,” dan tidak berpergian kecuali dengan izin dan
kerelaan keduanya.
3.
Adab terhadap guru adalah Jangan
mencari guru sembarangan, Ikhlas sebelum melangkah, Mengagungkan guru, Akuilah
keutamaan gurumu, Doakan kebaikan, Rendah diri kepada guru, Mencontoh akhlaknya,
Membela kehormatan guru, Jangan berlebihan kepada guru, dan Bila guru bersalah
4.
Adab terhadap tetangga
: berbuat baik (ihsan) kepada mereka. sabar menghadapi gangguan tetangga,
menjaga dan memelihara tetangga, dan tidak mengganggu tetangga.
5.
Adab terhadap tamu adalah Ketika
mengundang seseorang, hendaknya mengundang orang-orang yang bertakwa, bukan
orang yang fajir (bermudah-mudahan dalam dosa),
Tidak mengkhususkan mengundang orang-orang kaya saja, tanpa mengundang
orang miskin, Tidak mengundang seorang yang diketahui akan memberatkannya kalau
diundang. Disunahkan mengucapkan selamat datang kepada para tamu sebagaimana
hadits yang Menghormati tamu dan
menyediakan hidangan untuk tamu makanan semampunya saja. Dalam penyajiannya tidak bermaksud untuk
bermegah-megah dan berbangga-bangga, Hendaknya
juga, dalam pelayanannya diniatkan untuk memberikan kegembiraan kepada sesama
muslim.
6.
Adap terhadap sesama
adalah Mencintai Karena Allah, Menampakkan Senyum, Bersikap
Lembut dan Kasih Sayang Kepada Sesama Saudara Seiman , Disunnahkan Memberi
Nasihat Dan Hal Itu Termasuk Kesempurnaan Persaudaraan, Saling Tolong Menolong
antar Sesama, Sesama Saudara semestinya saling Merendahkan diri diantara mereka
dan tidak sombong atau meremehkan yang Lain, Berakhlak yang Terpuji, Berbaik
Sangka.
DAFTAR PUSTAKA
DR.Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari. 2006. Keistimewaan
Akhlak Islam. Bandung: ________ Pustaka Setia
Drs.KH.Ahmad Dimyathi Badruzzaman,M.A.2004.Panduan
Kuliah Agama Islam. Bandung: ________ Sinar Baru
Prof. Dr. Abdul Wahab khalaf, ‘’Hadits-Hadits Nabi’’, Gema Risalah,
Perss, Bandung, 1996. ________ hal 197.
Syarifuddin Amir, ‘’MUTIARA HADITS’’, PT. LOGOS Wacana Ilmu. jakarta,
1997, hlm:124
Bang boleh gak minta file materi ini beserta referensinya ? Kebetulan saya sedang menulis skripsi berkaitan ttg ini jg, klo boleh bisa tolong di email ke email saya ini, iqbalabdulghoni90@gmail.com terima kasih
BalasHapus