Dalam konteks sejarah awal kaum muslim, teks al-Qur’an merupakan
yang berupa mushaf seperti yang dapat dilihat sekarang ini adalah
ayat-ayat yang terpisah dan berserakan. Ayat-ayat yang turun selama masa
kerasulan Muhammad saw yang antara satu atau beberapa ayat dengan ayat
yang lain diselingi beberapa waktu tidaklah segera dikodifikasikan pada
masa itu. Tetapi, atas perintah Nabi, di samping menyuruh hafalkan
kepada para sahabat, ayat-ayat tersebut ditulis di atas pelepah-pelepah
kurma, batu-batu dan tulang-tulang unta (al-Shabuni, 1985: 53).
Penulisan ini, seperti yang diceritakan Ibnu Ishaq, langsung diharapan
Rasul sendiri (al-Zanjani, 1986: 65). Tiba pada masa khalifah Abu Bakar,
dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Umar bin Khatab atas banyaknya
huffazh yang syahid, ayat-ayat yang berserakan tersebut lalu dikumpulkan
dan di tulis kembali hingga menjadi sebuah mushaf al-Qur’an.
Mushaf al-Qur’an ini terdiri sejumlah surat dengan nama-nama tersendiri
dan juga sejumlah ayat dengan nomor urut tersendiri. Pembagian al-Qur’an
ke dalam surat dan ayat tentu memiliki makna yang jelas. Setidaknya di
samping menjadi lebih sistematis, akan memudahkan orang untuk membaca,
mempelajari dan menghafalnya al-Qur’an. Sunnah mengharuskan orang yang
shalat atau khutbah untuk membaca ayat al-Qur’an yang tidak boleh kurang
dari satu ayat tidaklah menjadi sulit, tetapi malah sebaliknya akan
dapat terpenuhi dengan mudah. Demikian juga dengan keharusan bagi orang
yang belum mampu membaca al-Fatihah dalam shalatnya, maka ia dengan
mudah dapat membaca tujuh ayat lainnya.
Di samping pembagian ke dalam surat dan ayat, al-Qur’an juga dibagi
dalam bagian-bagian atau juz yang sama yang keseluruhannya berjumlah 30
juz. Pembagian al-Qur’an menjadi 30 juz berkaitan dengan jumlah hari
dalam bulan Ramadhan, ketika satu juz al-Qur’an dibaca setiap harinya.
Tetapi, bagian atau juz al-Qur’an tampaknya kurang diperhitungkan untuk
menjadi pembicaraan dalam pembahasan ilmu-ilmu al-Qur’an. Berbeda dengan
pembicaraan tentang surat dan ayat, banyak persoalan dan komentar
tentangnya bahkan satu sama lain saling berbeda bahkan bertolak
belakang.
Tulisan ini mencoba menyajikan persoalan dan komentar ulama sekitar
surat dan ayat-ayat al-Qur’an. Tetapi tulisan ini tidak disajikan seluas
mungkin hingga menghabiskan banyak halaman. Karena keterbatasan tempat,
tulisan ini hanya menyajikan bagian-bagian dirasa cukup penting seperti
batasan ayat dan surat, jumlah, susunan surat dan ayat, huruf-huruf
muqatha’ah dan lain-lain.
BATASAN SURAT DAN AYAT
Dalam leksikologi Arab, kata surat (jamak: suwar) mengandung banyak
arti, yaitu: bangunan yang menjulang tinggi ke langit, kedudukan/tempat
dan keutamaan (Louis Ma’luf, tt: 362). Juga bisa berarti pagar jika
terambil dari kata سور . Seperti yang dikatakan W. Montgomery Watt yang
dikutipnya dari CF. Jeffery, bahwa pandangan umum asal kata ini adalah
bahasa Ibrani, surah, yang berarti suatu deretan bekas batu bata di
dinding dan bekas pepohonan anggur. (Watt, 1991: 90). Dari makna ini
surat disimpulkan menjadi “serangkaian bagian” atau “bab” (Inggris:
chapter). Tetapi, meskipun penyimpulan ini relevans, Watt mencari
alternatif lain. Karena dari beberapa tantangan yang dimajukan,
al-Qur’an meminta orang yang tidak membenarkan dirinya mendatangkan
sebuah surat (QS. 10: 38), sepuluh surat (QS. 11: 13) dan sebuah kitab
(QS. 28: 49) yang semisal dengannya. Dari beberapa permintaan al-Qur’an
ini jelas bahwa makna yang dimaksudkan adalah sesuatu yang seperti wahyu
atau kitab suci. Alternatif yang diajukan Watt adalah bahwa kata surat
terambil dari bahasa Siria, surta yang bermakna “tulisan teks kitab
suci”, atau bahkan “kitab suci”. (Watt: 1991: 90).
Alternatif Watt yang menyatakan bahwa surat yang bermakna tulisan atau
teks kitab suci mungkin dapat diterima, tetapi bila itu diartikan kitab
suci secara sebagai suatu kesatuan tentu saja kita akan mengalami
kesulitan bila al-Qur’an meminta untuk didatangkan sepuluh surat berarti
yang dimaksud adalah sepuluh kitab suci yang sama. Sungguh tantangan
yang vulgar tak masuk akal dan tak dapat diterima. Padahal tantangan
al-Qur’an merupakan tantangan yang sunguh-sungguh.
Pada sisi terminologis, kita tidak melihat batasan surat dalam
perspektif yang berbeda. Pada umumnya memberikan batasan yang sama tentu
dengan sedikit penjelasan tambahan yang berbeda. Al-Zarkasyi misalnya
menjelaskan pengertian surat dengan “sekelompok ayat-ayat al-Qur’an yang
mempunyai permulaan dan penutup” (al-Zarqasyi, t.t: I, 263). Al-Zarqani
memberikan sedikit tambahan bahwa sekelompok ayat-ayat al-Qur’an yang
mempunyai permulaan dan akhir itu adalah berdiri sendiri (Al-Zarqani,
1988: I, 350). Tetapi, meskipun sekelompok ayat dimaksud berdiri
sendiri, namun satu sama lain dipercaya berhubungan erat saling
melengkapi, sehingga ada yang mengatakan bahwa surat al-Fatihah adalah
pengatra surat al-Baqarah, dan surat al-Baqarah adalah pengantar surat
al-Nisa’ dan seterusnya.
Batasan surat yang dikemukakan oleh pakar-pakar ilmu al-Qur’an sebagai
sekelompok ayat-ayat tampaknya cukup beralasan. Karena al-Qur’an sendiri
tampaknya menghendaki pengertian demikian. Al-Qur’an menggunakan kata
surat dalam ungkapannya sebanyak 7 kali dalam bentuk mufrad yang
tersebar 3 surat, yaitu surat al-Tawbah: 64, 86, dan 124, surat al-Nur: 1
dan surat Muhammad: 20 dengan dua kali penyebutan. Sedang bentuk
jamaknya hanya satu kali digunakan al-Qur’an dalam surat Hud: 13.
Penggunaan kata surat adalah dalam pengertian yang sama yakni merujuk
pada sekumpulan ayat-ayat al-Qur’an.
Surat-surat al-Qur’an antara satu sama lainnya, baik dalam mushaf yang
ditulis tangan maupun cetak, dipisahkan dengan sebuah muqaddimah yang
diletakkan di awal surat. Dalam muqaddimah ini, biasanya pertama-tama
disebutkan nama surat, kemudian pernyataan tentang penanggalannya, yakni
diskripsi sederhana tentang surat tersebut apakah sebagai surat Makiyah
atau Madaniyah , dan diakhiri dengan catatan tentang jumlah ayat.
Muqaddimah ini seperti yang dikatakan Watt hanya perlengkapan
keserjanaan belaka (Watt, 1991: 93). Setelah muqaddimah disusul dengan
basmalah (بسم الله الرحمن الرحيم) pada setiap surat. Pengecualian
penggunanaan frase tersebut hanya pada surat 9. Penulisan basmalah pada
setiap surat tentu tak dapat dipandang sebagai hasil penyuntingan yang
belakangan, tetapi merupakan bentuk asli yang datang dari Muhammad saw.
Hal ini cukup beralasan karena pada surat 27 atau surat al-Naml ayat 30
dimana Sulaiman mengirim sepucuk surat kepada Ratu Balqis, ungkapan
basmalah mengawali suratnya seakan-akan kepala yang memadai untuk sebuah
dokumen yang berasal dari seorang nabi.
Panjang pendek surat-surat al-Qur’an sangat beragam, tetapi dalam
susunannya setelah surat al-Fatihah (pembukaan) surat-surat al-Qur’an
dimulai dengan surat yang sangat panjang dengan ayat-ayat yang panjang,
kemudian semakin lama semakin pendek dengan ayat-ayat yang pendek pula.
Surat al-Baqarah yang terletak sesudah surat al-Fatihah merupakan surat
yang terpanjang dengan jumlah ayat sebanyak 286 ayat atau lebih dari dua
juz, sedangkan surat terpendek surat al-Kawtsar dengan 3 ayat yang
pendek-pendek. Walaupun surat al-Kawtsar ini adalah surat yang terpendek
dengan ayat-ayatnya yang pendek namun tidaklah terletak pada penghujung
atau penutup surat-surat al-Qur’an, tetapi menempati nomor urut 108
dari 114 surat semuanya.
Sementara itu, kata ayat yang juga digunakan oleh al-Qur’an beberapa
kali merujuk pada makna yang berbeda-beda. Di antara makna-makna
etimologis ayat tersebut adalah: tanda (QS. al-Hijr: 77; al-Nahl: 11,
13, 65, 67, dan 69; al-Baqarah, 248); mukjizat (QS. al-Baqarah: 211);
ibrah atau pelajaran (QS. Hud: 102, 103 dan al-Furqan: 37); sesuatu yang
menakjubkan (QS. al-Mukmin: 50); bukti atau dalil (QS. al-Rum: 20, 21,
23, dan 24).
Akan tetapi, secara terminologis para ulama memberi batasan ayat dengan
sekelompok kata yang mempunyai permulaan dan akhir yang berada dalam
suatu surat al-Qur’an (al-Zarqani, 1988: I, 350). Batasan ini didukung
oleh al-Qur’an sendiri yang mengungkapkan ayat dengan pengertian
tersebut sehingga makana etimologis tetap relevans dengan pengertian
terminologis. Salah satunya adalah dalam surat Yusuf ayat 1:
الر تلك ءايات الكتاب المبين
Alif lam ra. Ini adalah ayat-ayat kitab (al-Qur’an) yang nyata (dari Allah)
Seperti halnya surat, panjang pendek ayat juga sangat beragam. Dalam
beberapa surat, pada umumnya surat-surat panjang, ayat-ayat pun yang
panjang dan menggugah. Sedangkan dalam surat-surat pendek yang terletak
di bagian akhir al-Qur’an, surat-suratnya pun pendek, padat dan mengena.
Namun kenyataan seperti itu bukanlah aturan yang mutlak. Sebab, surat
98 atau surat al-Baiyinah berisi 6 ayat panjang untuk ukuran surat-surat
yang bersamanya. Demikian pula pada surat 26 atau surat al-Syu’ara yang
tergolong surat yang panjang berisi lebih dari 100 ayat yang
pendek-pendek. Pada ayat-ayat yang panjang yang terdapat dalam surat
yang panjang, bentuk ungkapannya sangat beragam, tak dapat ditentukan
matra yang baku, baik pada suku-suku kata atau pada tekanan. Pada
umumnya akhiran-akhiran dari ayat tersebut adalah bunyi yang dibentuk
dengan akhiran kata benda dan kata kerja berbentuk jamak, -un dan –in,
diselang-seling dengan kata bentukan yang secara teknis disebut fail,
salah satu bentuk yang paling umum di dalam bahsa Arab. Sebagai contoh
تعقلون، يتفكرمن dan ظالمون، كافرون. Dan inilah bentuk yang umum dan
paling banyak digunakan. Tetapi juga terkadang dengan akhiran vokal
panjang a. Sedangkan pada ayat-ayat yang pendek-pendek memiliki irama
dan ritma yang juga sangat bervariasi. Terkadang semua atau sebagian
besar ayat-ayatnya berakhiran ud, ha dan lain-lain.
PENAMAAN SURAT
Surat-surat al-Qur’an tersebut memiliki nama-nama tersendiri. Sebuah
surat boleh jadi mempunyai satu atau beberapa nama. Surat al-Tawbah
misalnya, disebut juga dengan surat al-Bara’ah, dan al-Buhus. Surat
al-Insan dinamai pula dengan surat al-Dahr, dan lain-lain. Tetapi,
nama-nama surat tersebut tidaklah menunjukan judul atau tema pokok dari
surat-surat tersebut—meskipun tak dapat dipungkiri bahwa setiap surat
mempunyai tema—tetapi hanya dijadikan sebagai alat metode identifikasi.
Nama-nama surat ini diambil dari kata yang mencolok atau tidak lazim di
dalamnya. Biasanya kata ini muncul hampir di awal surat, tetapi tidak
demikian selamanya. Surat 16 misalnya, diberi nama dengan surat al-Nahl
(lebah) tetapi tidak disebutkan di dalamnya hingga pada ayat 68 lebih
separuh dari surat tersebut; bahkan ayat ini (16: 68) merupakan
satu-satunya bagian dari al-Qur’an yang berbicara tentang al-Nahl.
Senada dengan ini, surat 26 diberi nama dengan al-Syu’ara, kata yang
disebutkan al-Qur’an di dalam ayat 224 surat tersebut dan merupakan
bagian paling akhir dari surat tersebut.
Jelas sekali bahwa nama-nama surat ini tidak berasal dari al-Qur’an,
tetapi diperkenalkan oleh para-pakar al-Qur’an. Tampaknya tidak ada
aturan yang umum dalam pemilihan nama-nama surat tersebut. Orang-orang
menggunakan kata apa saja yang paling menonjol dalam suatu surat.
Sebagian ulama mengasumsikan bahwa nama-nama surat al-Qur’an ini adalah
petunjuk Rasul (tawqifi). (petunjuk Rasul). Sedangkan sebagian lagi
percaya bahwa penamaan surat tersebut berdasarkan jitihad sahabat yang
diambil dari pokok pembicaraan dalam surat itu. (Ismail, tt: 66).
Tetapi, tampaknya yang lebih masuk akal adalah bahwa Nabi sangat
berperan dalam mensosialisasikan nama-nama surat. Tidak mungkin Nabi saw
sebagai transmiter dan penerjemah al-Qur’an untuk para sahabat tidak
memiliki nama-nama surat sebagai alat identifikasi. Yang jelas sejak
masa yang paling awal Nabi dan sahabat-sahabat telah mengetahui dan
mempopulerkan nama-nama surat al-Qur’an.
Di samping nama-nama yang secara an sich diberikan kepada surat-surat
al-Qur’an untuk kepentingan identifikasi, juga diberi nama-nama kelompok
untuk surat al-Qur’an, baik yang terkait dengan periode kerasulan
Muhammad seperti surat Makiyah dan surat Madaniyah, ataupun panjang
pendeknya surat-surat al-Qur’an tersebut. Pengelompokan surat-surat
al-Qur’an yang terkait dengan periode kerasulan dimaksudkan untuk
kepentingan kronologis turunnya surat atau ayat untuk kepentingan
penafsiran al-Qur’an, seperti yang akan dijelaskan selanjutnya.
Sementara penamaan surat-surat yang berdasarkan panjang pendeknya surat
tampaknya hanya untuk identifikasi dalam kerangka yang lebih luas.
Al-thiwal, misalnya adalah surat-surat yang dikenal dengan tujuh surat
yang panjang yang terdapat pada permulaan mushaf, yaitu surat 2 – 8
(surat al-Baqarah, Ali Imran, al-Maidah, al-Nisa’, al-An’am, al-A’raf
dan al-Anfal). Al-mi’un adalah nama yang diberikan kepada surat-surat
yang ayatnya seratus atau lebih sedikit. Al-matsani, dikenal sebagai
surat-surat yang jumlah ayatnya yang tidak mencapai 100 ayat. Sedangkan
al-mufashshal adalah surat-surat yang lebih pendek. Disebut dengan
mufashshal karena banyak fashal (pemisah) di antara surat-surat tersebut
dengan basmalah (al-Zarqani, 1988 : I, 352).
JUMLAH SURAT DAN AYAT
Tampaknya tidak banyak pendapat yang bermunculan tentang jumlah surat
al-Qur’an di banding dengan pendapat tentang jumlah ayat al-Qur’an. Hal
ini mungkin disebabkan karena pada setiap surat dipisahkan dengan
basmalah yang menjadi bagian awal setiap surat (Abu Syuhbah, 1996: 276).
Sedangkan dalam menentukan jumlah ayat terdapat peluang berbeda
pendapat yang bertolak dari penentuan basmalah sebagai ayat dari setiap
surat dan fashilah serta ra’s al-ayat seperti yang akan dikemukakan
berikutnya.
Pendapat yang paling umum diterima, jumlah surat al-Qur’an seperti dalam
mushaf Usman adalah 114 surat. Tetapi pendapat yang diterima dari
Mujahid surat al-Qur’an adalah 113 surat dengan menggabungkan surat
al-Anfal dengan surat al-Tawbah menjadi satu surat. Hasan, ketika
ditanya apakah surat al-Bara’ah dan surat al-Anfal itu satu surat atau
dua surat, menjawab “satu surat”. Ibnu Mas’ud dalam mushafnya terdapat
112 surat. Ini karena ia tidak memasukan dua surat terakhir
(mu’awidzatani) (al-Sayuthi, t.t: 67; Abu Syuhbah, 1996: 288) yang oleh
Montgomery Watt dikatakan sebagai jimat-jimat pendek (Watt, 1991: 91).
Sementara sebagian di antara ulama Syi’ah menetapkan bahwa jumlah surat
al-Qur’an 116. Hal ini karena mereka memasukan surat qunut yang dinamai
surat al-khaf dan al-hafd yang oleh ditulis oleh Ubay di kulit
al-Qur’an. (Ash-Shiddieqy, 1984: 58).
Mengenai jumlah ayat, secara umum dapat dinyatakan bahwa para ulama
menghitungnya tidak kurang dari 6200 ayat. Tetapi, secara rinci mereka
berbeda pendapat. Orang-orang Madinah menyuguhkan dua pendapat. Pendapat
pertama mengatakan bahwa seluruh ayat al-Qur’an berjumlah 6217 ayat.
Sedangkan pendapat yang kedua menyatakan bahwa seluruhnya berjumlah 6214
ayat. Orang-orang Mekah menghitung ayat al-Qur’an secara keseluruhan
sebanyak 6220 ayat. Sedang orang-orang Kufah menyatakan 6226 ayat dan
orang-orang Basrah menyatakan jumlah ayat al-Qur’an seluruhnya adalah
6205 ayat. Sementara pendapat yang beredar di masyarakat awam bahwa ayat
al-Qur’an seluruhnya berjumlah 6666 ayat tampaknya kurang dapat
diterima. Angka ini barangkali lebih bernuansa mitos atau keramat
dibanding dengan realita konkrit.
Seperti yang dikemukakan sebelumnya, bahwa perbedaan penetapan basmalah
sebagai ayat dari surat-surat al-Qur’an atau tidak menyebabkan ulama
berbeda pendapat dalam menentukan jumlah ayat al-Qur’an. Seperti yang
dinyatakan oleh Hamka, ada dua pendapat tentang basmalah ini. Sebagian
besar sahabat dan ulama salaf berpendapat bahwa basmalah adalah ayat
pertama dari setiap surat. Dari golongan sahabat yang berpendapat
demikian antara lain: Ibnu Abbas, Ali bin Abi Thalib, Abdullah ibn Umar
dan Abu Hurairah. Sedangkan dari golongan ulama salaf antara lain: Ibnu
Katsir, al-Kasa’i, al-Syafi’i, al-Tsauri dan Ahmad. Sedangkan sebagian
lagi menyatakan bahwa basmalah bukan ayat pertama dari setiap surat,
tetapi hanya sebagai pemisah antara satu surat dengan surat lainnya. Di
antara mereka yang berpendapat seperti ini adalah Imam Malik dan
al-Auza’i. (Hamka, 1982: 74).
Di samping itu, serta penentuan fashilah dan ra’s al-ayat juga menjadi
sebab perbedaan pendapat ulama dalam menghitung jumlah ayat. Fashilah
adalah istilah yang diberikan kepada kalimat yang mengakhiri ayat dan
merupakan akhir ayat. Sedangkan ra’s al-ayat adalah akhir ayat yang
padanya diletakkan tanda fashal (pemisah) antara ayat yang satu dengan
ayat yang lain. Fashilah ini terkadang berupa ra’s al-ayat dan terkadang
tidak. Dengan demikian, setiap ra’s al-ayat adalah fashilah dan tidak
setiap fashilah adalah ra’s al-ayat (Manna’ al-Qaththan, tt: 153).
Fashilah dan ra’s al-ayat ini mungkin mirip dengan sajak, seperti yang
dikenal dalam ilmu Badi’ (stalistik). Tetapi ulama tidak menggunakan
istilah sajak karena al-Qur’an bukan karya sastrawan atau ungkapan para
nabi, tetapi adalah wahyu Allah yang tentu lebih tinggi kedudukannya
dibanding sajak. Di samping itu, fashilah yang dimaksud dalam al-Qur’an
adalah meruntutkan makna dan bukan fashilah itu sendiri yang dimaksud.
Sementara sajak, maka sajak itu sendiri yang dimaksudkan (dalam suatu
perkataan) dan baru kemudian arti perkataan itu dialihkan kepadanya,
sebab hakikat sajak ialah menguntai kalimat dalam satu irama.
SUSUNAN SURAT DAN AYAT
Para ulama berbeda pendapat tentang susunan surat-surat al-Qur’an. Ada
tiga pendapat yang muncul tetang persoalan ini, yaitu: pertama, susunan
surat-surat al-Qur’an seluruhnya berdasarkan petunjuk Rasul (tawqifi).
Kedua, susunan surat-surat al-Qur’an adalah ijtihad para sahabat; dan
ketiga, susunan surat-surat al-Qur’an sebagian bersifat tawqifi dan
sebagian lagi adalah ijtihad sahabat.
Pendapat yang pertama ini didukung oleh ulama-ulama seperti Abu Ja’far
bin Nuhas, Ibnu al-Hasr dan Abu Bakar al-Anbari (Abu Syuhbah, 1996:
293). Alasan yang mendukung pendapat ini adalah riwayat Abu Syaibah
bahwa Nabi pernah membaca beberapa surat al-mufashshal dalam satu rakaat
menurut susunan mushaf al-Qur’an. Di samping itu juga pernyataan Ibnu
Mas’ud yang diriwayatkan oleh al-Bukhari bahwa ia pernah menyebutkan
surat Makiyah, surat Bani Israil, al-Kahfi, Maryam, Thaha dan al-Anbiya’
yang pertama kali ia pelajari—secara beruntut seperti urutan sekarang
ini (Manna’ Qathahan, tt: 141). Al-Zarqani menambahkan alasan golongan
ini dengan mengatakan bahwa para sahabat telah sepakat terhadap mushaf
Usman dan tidak ada seorang pun dari sahabat yang berkeberatan atau
menyangkalnya. Kesepakatan ini tak terjadi kecuali karena pengumpulan
ini sifatnya tawqifi. Sebab bila seandainya berdasarkan ijtihad maka
para sahabat tentu akan berpegang teguh pada pendapat mereka yang
berlainan. (al-Zarqani, 1988: I, 355).
Pendapat kedua dinisbahkan kepada imam Malik (Muhammad Bakar Al- Ismail,
tt: 67). Dan al-Zarqani menyebut bahwa pendapat ini adalah pendapat
jumhur ulama dan termasuk di dalamnya seperti al-Qadhi dan Abu Bakar
(Al-Zarqani, 1988: I, 355 )Argumen pendapat ini adalah adanya beberapa
mushaf pribadi beberapa orang sahabat yang sistematika surat tersebut
saling berbeda satu sama lain. Mushaf Ibnu Mas’ud misalnya, dimulai
dengan surat al-fatihah, al-Baqarah, an-Nisak, Ali Imran dan seterusnya.
Demikian juga dengan mushaf Ubay. Mushaf Ali disusun berasarkan urutan
turunnya ayat, karenanya dimulai dengan surat al-Alaq, kemudian
al-Mudaststir, Nun, Qalam dan seterusnya(Manna al-Qattan, tt: 142).
Ketika Usman ditanya oleh para sahabat, kenapa ia mengambil
kebijaksanaan untuk menggabungkan surat al-Anfal dengan surat al-Bara’ah
menjadi satu dengan tidak meletakkan basmalah di antara kedua surat
tersebut, ia menjawab bahwa itu hanya perkiraannya karena kisah yang
terdapat dalam surat al-Anfal serupa dengan kisah dalam surat
al-Bara’ah. Dan Rasulullah sampai akhir hayatnya tidak menjelaskan bahwa
surat al-Bara’ah merupakan bagian dari surat al-Anfal (al-Zarqani,1988:
I, 354).
Pendapat ketiga beralasan dengan adanya beberapa hadis yang menunjukkan
bahwa sebagian surat-surat al-Qur’an tertibnya berdasarkan petunjuk
Rasul dan juga pada sisi lain terdapatnya beberapa mushaf sahabat yang
susunan surat-suratnya berlainan. Abu Muhammad Ibnu Athiyah mengatakan
bahwa sebagian besar surat-surat al-Qur’an diketahui susunannya pada
masa nabi seperti al-Sab’u al-Thiwal dan Mufasshal, sedangkan sebagian
lain adalah berdasarkan ijtihad para sahabat nabi (al-Zarqani, 1988: I,
357).
Dari ketiga pendapat yang dikemukakan di atas Manna’ al-Qaththan
cenderung pada pendapat yang pertama, karena menurutnya pendapat ini
lebih kuat dari pendapat lainnya. Terhadap argumen pendapat kedua ia
mengatakan bahwa adanya beberapa mushaf pribadi sebagian sahabat yang
berbeda itu merupakan hasil ikhtiar mereka sendiri sebelum al-Qur’an
dikumpulkan (Manna’ al-Qaththan, tt: 144).
Tetapi penulis secara pribadi cenderung pada pendapat al-Baihaqi yang
juga diikuti oleh al-Sayuthi (t.t: 65) yang mengatakan bahwa susunan
surat al-Qur’an pada dasarnya adalah tawqifi, hanya surat al-Anfal dan
al-Bara’ah yang hanya ijtihad para sahabat. Hal ini karena secara jelas
terlihat adanya ijtihad Usman seperti yang disebutkan dalam hadis di
atas. Di samping itu al-Qur’an sebelumnya telah turun ke lauh mahfudh
dan telah berupa kitabyang tentunya tersusun secara sistematis. Namun
demikian, terlepas dari perbedaan tertib surat tersebut, sistematika
surat tidaklah mengindikasikan suatu kemestian dan keharusan orang
membaca dan mempelajari sesuai dengan susunan surat tersebut.
Adapun tertib ayat al-Qur’an oleh ulama seperti yang dikatakan
al-Sayuthi—disepakati urutannya berdasarkan tawqifi dari Rasul. Karena
setiap kali turun ayat nabi selalu memberikan petunjuk supaya meletakkan
ayat tersebut pada tempat tertentu atau pada surat yang di dalamnya
disebutkan seperti ini. Usman bin Abi al-Ash mengatakan:
Saya duduk di samping Rasul, tiba-tiba pandangannya menjadi tajam lalu
kembali seperti semula kemudian memerintahkan aku meletakan ayat ini di
tempat ini surat ini.
Ibnu Zubair berkata, aku mengatakan kepada Usman bahwa ayat 23 surat
al-Baqarah telah dimansukhkan oleh ayat lain, tetapi mengapa anda
menuliskannya atau membiarkannya dituliskan. Beliau menjawab:
“Kemenakanku, aku tidak mengubah sesuatu pun dari tempatnya”.
Di samping itu diriwayatkan pula bahwa Jibril senantiasa mengulangi dan
memeriksa al-Qur’an yang telah disampaikannya kepada Muhammad setiap
tahun pada bulan Ramadhan, bahkan sampai dua kali pada tahun-tahun
terakhir hidup Muhammad saw. Pengulangan Jibril terkahir ini adalah
seperti susunan surat-surat al-Qur’an yang dikenal sekarang.
Baik surat-surat maupun ayat-ayat, selalu mempunyai korelasi
(munasabah). Penjelasan tentang korelasi surat-surat dan ayat-ayat
al-Qur’an biasanya dapat dilihat dalam kitab-kitab tafsir.
SURAT DAN AYAT YANG PERTAMA TURUN
Tampaknya tak ada perbedaan pendapat di antara ulama tentang bulan
turunnya al-Qur’an pertama kali. Semua mereka sepakat menyatakan bahwa
al-Qur’an turun pada bulan Ramadhan. Surat al-Baqarah 185, surat
al-Dukhan 1-6 dan surat al-Qadr menuntun para pakar ilmu al-Qur’an
menyatakan al-Qur’an turun pada bulan Ramadhan. Akan tetapi mereka
berbeda pendapat tentang ayat dan surat yang pertama sekali turun.
Setidaknya ada empat pendapat yang berkembang tentang ini.
Pendapat pertama, yang dipandang oleh Manna’ al-Qaththan sebagai
pendapat yang terkuat, mengatakan bahwa ayat al-Qur’an yang pertama
kalinya diturunkan adalah ayat 1 sampai 5 surat al-‘Alaq, yang turun di
Gua Hira. Pendapat ini didukung oleh hadis Aisyah yang diriwayatkan oleh
dua syaikh ahli hadis—Bukhari dan Muslim—serta ahli hadis lainnya.
Pendapat kedua, ayat yang pertama kali turun adalah ayat-ayat surat
al-Mudatsir. Pendapat ini juga berdasarkan hadis, yakni hadis dari Abu
Salamah bin Abdurrahman dari Jabir ketika ia ditanya tentang ayat yang
pertama diturunkan. Ia menjawab al-Mudatsir. Hadis ini juga diriwayatkan
oleh dua syaikh ahli hadis. Pendapat ketiga menyatakan ayat yang
pertama kali turun adalah surat al-Fatihah. Sedangkan pendapat keempat
menyatakan basmalah sebagai ayat yang pertama sekali turun, dengan
alasan karena basmalah merupakan turun mendahului setiap surat. (Manna’
Qaththan: 67).
Pendapat pertama tampaknya memang lebih kuat sebab boleh jadi Jabir
tidak mendengar kisah permulaan turunnya wahyu sehingga ia menyangka
bahwa surat al-Mudatstsir adalah ayat al-Qur’an yang pertama turun.
Sebab surat al-Mudatstsir adalah surat yang turun setelah ayat 1-5 surat
al-‘Alaq—setelah wahyu terhenti beberapa lama. Di samping itu, hadis
Jabir sendiri juga mengindikasikan bahwa al-Mudatstsir turun setelah
peristiwa yang terjadi di Gua Hira. Nabi melihat malaikat yang pernah
datang kepadanya di langit. Karena ketakutan ia segera pulang dan
meminta Khadijah untuk menyelimutinya dan kemudian turunlah ayat: “Wahai
orang berselimut; bangkitlah, lalu berilah peringatan”.
Sedangkan dalam menetapkan ayat yang terakhir turun para ulama juga
tidak sepakat. Dari beberapa pendapat yang banyak berkembang dapat
dicatat bahwa ayat yang terakhir turun adalah: surat al-Baqarah ayat
278, 281, 282; Ali Imran ayat 190; al-Nisa’ ayat 93, 176; al-Maidah ayat
3; al-Tawbah ayat 128 dan surat al-Nashr.
Menarik untuk diamati bahwa komentar-komentar sekitar ayat yang terakhir
turun disandarkan kepada hadis-hadis sahabat (hadis mawquf). Mungkin
sekali ini adalah apa yang mereka dengar dari Rasul, tetapi juga mungkin
ijtihad mereka sendiri. Akan tetapi, surat al-Maidah ayat 3 tampaknya
paling tepat untuk menunjukan ayat terakhir kali turun dari seluruh
ayat-ayat al-Qur’an. Sebab pada lahirnya ayat ini mengindikasikan telah
sempurnanya agama dalam artian seluruh perundang-undangan telah
ditetapkan. Dan telah dinyatakan pula Allah telah mencukupkan nikmat-Nya
serta telah redha pada Islam, agama yang dibawa Muhammad saw. Sedangkan
ayat-ayat lain yang dinyatakan sebagai ayat yang terakhir turun selain
surat al-Maidah tersebut di atas mungkin sekali terkait dengan sesuatu
konteks seperti ayat terakhir turun tentang riba, perundang-undangan,
dan lain-lain sebagainya.
SURAT/AYAT MAKIYYAH DAN MADANIYYAH
Seperti yang telah dikemukakan, bahwa alat identifikasi kronologis surat
atau ayat untuk kepentingan penafsiran dan pemahaman adalah Makiyyah
dan Madaniyyah. Persoalan ini tampaknya bagian yang penting dan tak
dapat diabaikan begitu saja. Itu sebabnya pakar-pakar tafsir diharuskan
untuk memiliki pengetahuan tentang surat atau ayat Makiyyah dan
Madaniyyah. Dapat ditegaskan bahwa surat atau ayat Makiyyah adalah surat
atau ayat yang diturunkan sebelum hijrah, meskipun ayat atau surat
tersebut turun di luar Mekah, termasuk dalam kategori ini adalah ayat
yang turun dalam perjalanan hijrah. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah adalah
ayat-ayat diturunkan setelah hijrah, meskipun turunnya di luar Madinah,
termasuk dalam kategori ini adalah ayat-ayat yang turun dalam
perjalanan dari Hudaibiyah (Abu Syuhbah, 1992, 198).
Pada mushaf Usman istilah Makiyyah dan Madaniyyah lebih ditujukan kepada
surat-surat al-Qur’an, bukan ayat-ayatnya, meskipun sebenarnya yang
menjadikannya surat Makiyyah dan Madaniyyah adalah ayat-ayatnya.
Identifikasi yang lebih ditujukan kepada surat-surat dan bukan kepada
ayat-ayat dapat diterima dan tampaknya cukup relevan untuk surat-surat
pendek yang terdiri dari 3 sampai 10 ayat. Tetapi untuk surat-surat yang
panjang tampaknya tidak dapat digeneralisir, karena dalam surat
Makiyyah boleh jadi terdapat ayat-ayat Madaniyyah. Dalam surat al-An’am
misalnya, yang diidentifikasi sebagai surat Makiyyah terdapat ayat
Madaniyyah yang menurut keterangan Ibnu Abbas adalah ayat 151-153.
(Manna’ al-Qaththan, t.t: 155).
Kajian kronologis ayat juga menarik perhatian para orientalis semisal
Theodor Noldeke, Friedrich Schwally, dan lain-lain hingga menjadi bahan
kajian serius. Tetapi, menurut Watt, terdapat perbedaan pijakan utama
untuk penanggalan ayat-ayat al-Qur’an oleh mereka dengan para sarjana
muslim. Jika sarjana muslim adalah hadis-hadis dan pernyataan para
pengkaji al-Qur’an yang belakangan, maka teori kesarjanaan Barat dalam
menyusun kronologi surat atau ayat-ayat dilakukan dengan memperhatikan
bukti-bukti, yaitu rujukan yang tampak dalam al-Qur’an sendiri. Menurut
Watt, pijakan utama sarjana Muslim sangat tradisional dan memilik banyak
kelemahan. Ia mengemukakan hadis yang tampaknya tidak kosisten dalam
menentukan ayat yang pertama turun yakni hadis Aisyah dan Jabir seperti
yang telah dijelaskan di atas. (Watt, 1991: 173-175).
Pernyataan Watt ini tentu tak dapat diterima sepenuhnya. Pertama,
sarjana muslim tidaklah mengabaikan bukti-bukti internal dan hanya
berpijak pada hadis-hadis atau pernyataan sarjana yang datang
belakangan. Hal ini terlihat pada kesimpulan mereka bahwa perbedaan
ayat-ayat Makiyyah dan Madaniyyah juga dilihat dari sisi gaya bahasa
al-Qur’an, seperti ayatnya pendek-pendek dan berirama. Kedua, Watt
tampaknya mengambil kesimpulan atas kajiannya yang belum selesai dan
tuntas, atau sama sekali tak pernah melakukan kajian atas hadis Aisyah
dan Jabir tersebut, seperti apa yang disuguhkan oleh sarjana-sarjana
muslim.
HURUF-HURUF MUQATHTHA’AH
Satu hal yang menjadi ciri khas al-Qur’an adalah adanya huruf-huruf
muqaththa’ah (huruf-huruf yang terpisah) yang memulai suatu surat
(fawatih al-suwar). Dalam al-Qur’an terdapat 29 surat yang menggunakan
huruf-huruf tersebut sebagai pembuka surat. Huruf-huruf ini hanya muncul
sekali secara tunggal, namun huruf-huruf ini juga muncul bersama dengan
huruf lain sebagai pembuka surat yang lain. Dari 29 huruf hijaiyah,
hanya 14 huruf yang digunakan sebagai pembuka surat, yaitu: ا ج ر ع س ص ط
ق ك ل م ن هـ ي dalam 29 surat. Dari 14 huruf ini 3 huruf yang berdiri
sendiri sebagai pembuka surat, yakni ص pada surat Shad, ق pada surat Qaf
dan ن pada surat al-Qalam Sedang selebihnya merupakan kombinasi dari
beberapa huruf. Lebih jelasnya perhatikan tabel di bawah ini:
Tabel Fawatih al-Suwar pada Surat al-Qur’an
Fawatih al-Suwar Nama Surat
الم Al-Baqarah, Ali Imran, al-Ankabut, al-Rum, Luqman dan al-Sajadah
المص Al-A’raf
الر Yunus, Hud, Yusuf, Ibrahim, al-Hijr
المر Al-Ra’d
كهيعص Maryam
طه Tha ha
طسم Al-Syu’ara, al-Qashahs
طس Al-Naml
يس Yasin
ص Shad
حم Al-Mu’min, Fushshilat, al-Zukhruf, al-Dukhan, al-Jatsiyah, al-Ahqaf
حمعسق Al-Syura
ق Qaf
ن Al-Qalam
Sebagian orang percaya bahwa huruf-huruf tersebut merupakan simbol
rahasia antara si pembicara dengan si pendengar, yaitu Tuhan dan Nabi
saw, sebagai suatu yang berada di luar pemahaman orang awam. Contoh ini
dapat dilihat pada kode-kode yang disusun antara dua orang yang tidak
ingin orang lain mengetahui masalah apa yang mereka bicarakan. Pendapat
lain mengatakan bahwa huruf ini adalah nama dari surat-surat yang
bersangkutan. Ada juga yang menyatakan bahwa huruf-huruf tersebut
merupakan sumpah yang diucapkan atas nama huruf-huruf pendek sebagaimana
disebut dalam al-Qur’an nama wujud lain dari ciptaan Tuhan seperti
matahari, bulan, bintang, malam, siang dan lain-lain sebagainya
(Muthahari, 1992: 42).
Orientalis seperti Hirschfeld, dalam keputusasannya, mencoba menemukan
makna huruf-huruf ini. Ia memandang bahwa huruf-huruf tersebut sebagai
singkatan dari nama-nama sahabat. Huruf ص adalah singkatan dari nama
Hafsah,ك dari nama Abu Bakar, dan م dari Usman. Tetapi, seperti yang
dikatakan Watt bahwa penjelasan seperti ini menjadi lebih pelik Sebab
untuk surat dua dan tiga yang dimulai dengan huruf dikatakan Hirschfeld
sebagai singkatan dari nama al-Mughirah sebagai orang yang
mengumpulkannya, dan kenapa pengumpulannya bergantung hanya pada satu
orang (Watt: 98).
Tampaknya dari berbagai penafsiran terhadap huruf-huruf ini tak ada yang
memuaskan dan tak mempunyai alasan yang cukup kuat. Karena itu penulis
menyatakan bahwa huruf-huruf ini tampaknya tetap menjadi huruf-huruf
misterius.
PENUTUP
Meskipun terdapat perbedaan pendapat ulama seputar surat-surat dan ayat
al-Qur’an baik dari segi jumlah maupun susunan surat-surat atau ayat
tidak mengurangi validitas al-Qur’an sebagai wahyu Ilahi yang orisinil.
Demikian juga pembagian al-Qur’an ke dalam surat dan ayat yang tidak
sama panjang dan pendeknya, surat-surat yang paling pendek sekalipun
seperti surat al-Kawtsar yang hanya terdiri dari tiga ayat, tidaklah
mengurangi kemukjizatannya. Semua surat-surat al-Qur’an, baik yang
panjang maupun yang pendek sama dalam hal kemukjizatannya.
Di sisi lain, perlu dicatat di akhir tulisan ini bahwa sistematika
mushaf Usman harus mendapat tempat yang lebih tinggi dari sistematika
mushaf pribadi, yang berbeda sistematikanya, karena telah diyakini bahwa
sistematika mushaf Usman merupakan ijmak pada sahabat dan telah nyata
pula tak ada sahabat yang membantahnya.
DAFTAR RUJUKAN
Manna’ Qaththan, tt: 126; al-Zanjani, 1986: 85).
al-Zarqani,1988: I, 352.
Manna’ al-Qaththan, tt: 154).
Source : http://isialkitaab.wordpress.com/kajian-ayat-dan-surat-al-quran/