Terkadang kita harus menyembunyikan kesedihan kita dengan tersenyum :D

Selasa, 19 November 2013

Teori-teori Masuknya Islam ke Indonesia

Sejarah Islam di Indonesia.
Agama islam pertama masuk ke Indonesia melalui proses perdagangan, pendidikan, dll. Tokoh penyebar islam adalah walisongo antara lain; Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)

KONSEP PENGEMBANGAN KURIKULUM DAN BAHAN AJAR BERDIFERENSIASI UNTUK MENUMBUHKAN KREATIFITAS PESERTA DIDIK

Ketika berbicara tentang pendidikan dan kurikulum yang berdiferensiasi, maka perhatian kita langsung tertuju pada program akselerasi, dimana program tersebut diberlakukan untuk anak anak yang berbakat dan kreatif. Tetapi tidak ada salahnya kurikulum dan bahan ajar yang berdiferensiasi juga digunakan dalam rangka menumbuhkan kreatifitas peserta didik tersebut.
Istilah diferensiasi dalam pengertian kurikulum berdiferensiasi menunjuk kepada perbedaan dengan kurikulum yang berlaku. Perbedaanya terutama berkenaan dengan sifat penanjakan yang dinamis dari perkembangan seseorang yang diperoleh dari seluruh pengalaman belajar, yang direncanakan dalam kaitan dengan pencapaian tujuan tertentu yang disebut kurikulum. Sebelum membahas kurikulum berdiferensiasi, alangkah lebih baik kita kembali membaca beberapa hal yang sudah dibahas terlebih dahulu. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran merupakan bagian dari perencanaan proses pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar.

Kurikulum berdiferensiasi adalah kurikulum nasional dan lokal yang dimodifikasi dengan penekanan pada materi esensial dan dikembangkan melalui sistem eskalasi dam enrichment yang dapat memacu dan mewadahi secara integrasi pengembangan spiritual, logika, etika dan estetika, kreatif, sistematik, linier dan konvergen. Eskalasi adalah proses adaptasi kurikulum dengan memberikan penekanan pada proses pendalaman suatu materi. Belajar bersama siswa, guru dapat mengeksplorasi berbagai hal sampai pada materi tersulit sekalipun. Dengan didukung oleh kemajuan dan fasilitas sumber belajar yang beraneka ragam maka guru dapat memanfaatkan hal tersebut untuk mengupas suatu subjek pembelajaran dengan sangat intens. Proses pendalaman ini harus berpusat kepada siswa dimana guru hanya melontarkan beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh siswa secara intensif dan mendalam. Kemudian guru mencoba mengarahkan dan membimbing siswa untuk memberikan “nilai” dari setiap ilmu yang diperoleh oleh siswa. Enrichment atau pengayaan adalah bentuk layanan yang dilakukan dengan memperkaya materi melaui kegiatan-kegiatan penelitian atau kegiatan di luar kelas yang bersifat “out of box”, baik dari aspek metode, sumber maupun evaluasi hasil belajar. Pengayaan dapat dilakukan secara horizontal atau vertikal. Yang dimaksud dengan horizontal adalah pengayaan pada pengalaman belajar di tingkat satuan yang sama namun lebih luas sedangkan pengayaan vertikal adalah dengan menambah tingkat kompleksitas suatu materi, misalnya siswa belajar untuk melakukan penelitian sederhana untuk suatu kasus dalam materi. Dimulai dari mengidentifikasi masalah, menentukan hipotesa dan melakukan analisa, survai atau observasi untuk kemudian melakukan penyimpulan dari hasil kegiatan tersebut.

http://www.activesearchresults.com
http://www.activesearchresults.com/addwebsite.php
http://www.activesearchresults.com/login/register.php
http://www.activesearchresults.com/help/about.php
http://www.activesearchresults.com/searchform.php



PENGEMBANGAN BAHAN AJAR

1. Pengertian Bahan Ajar
Ada beberapa pengertian tentang bahan ajar, yaitu antara lain : Bahan ajar merupakan informasi, alat dan teks yang diperlukan guru/instruktur untuk perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran. Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas. Bahan yang dimaksud bisa berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis. Atau bahan ajar adalah seperangkat materi yang disusun secara sistematis baik tertulis maupun tidak sehingga tercipta lingkungan/suasana yang memungkinkan siswa untuk belajar. Bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials) juga merupakan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sikap atau nilai. Disini kemudian penulis akan menggunakan istilah bahan ajar sebagai materi pelajaran untuk lebih memudahkan pemahaman.
2. Bentuk dan Jenis Bahan Ajar
Ada beberapa bentuk bahan ajar, yaitu bahan cetak seperti : hand out, buku, modul, lembar kerja siswa, brosur, leaflet, wallcart. Audio visual seperti : video/film, VCD. Audio seperti : radio, kaset, CD, audio, PH. Visual seperti : foto, gambar, lukisan, model/maket. Kemudian bentuk bahan ajar berupa multi media seperti : CD Interaktif, Computer Based, Internet. Sedangkan jenis bahan ajar disini seperti lembar informasi (informasi sheet), Operation sheet, Jobsheet, Worksheet, Handout, Modul, dan lain-lain.
3. Prinsip – Prinsip dalam Memilih Bahan Ajar
Prinsip-prinsip dalam pemilihan bahan ajar atau materi pembelajaran meliputi: a. prinsip relevansi,
b. konsistensi, dan
c. kecukupan.
Prinsip relevansi artinya materi pembelajaran hendaknya relevan memiliki keterkaitan dengan pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar. Prinsip konsistensi artinya adanya keajegan antara bahan ajar dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa. Misalnya, kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa empat macam, maka bahan ajar yang harus diajarkan juga harus meliputi empat macam. Prinsip kecukupan artinya materi yang diajarkan hendaknya cukup memadai dalam membantu siswa menguasai kompetensi dasar yang diajarkan. Materi tidak boleh terlalu sedikit, dan tidak boleh terlalu banyak. Jika terlalu sedikit akan kurang membantu mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sebaliknya, jika terlalu banyak akan membuang-buang waktu dan tenaga yang tidak perlu untuk mempelajarinya.
4. Langkah – langkah dalam Memilih Bahan Ajar
Materi pembelajaran yang dipilih untuk diajarkan oleh guru dan harus dipelajari siswa hendaknya berisikan materi atau bahan ajar yang benar-benar menunjang tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar. Secara garis besar langkah-langkah pemilihan bahan ajar meliputi :
a. mengidentifikasi aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar yang menjadi acuan atau rujukan pemilihan bahan ajar,
b. mengidentifikasi jenis-jenis materi bahan ajar,
c. memilih bahan ajar yang sesuai atau relevan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah teridentifikasi tadi., dan
d. memilih sumber bahan ajar.
Secara lengkap, langkah-langkah pemilihan bahan ajar dapat dijelaskan sebagai berikut:
Mengidentifikasi aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sebelum menentukan materi pembelajaran terlebih dahulu perlu diidentifikasi aspek-aspek standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dipelajari atau dikuasai siswa. Aspek tersebut perlu ditentukan, karena setiap aspek standar kompetensi dan kompetensi dasar memerlukan jenis materi yang berbeda-beda dalam kegiatan pembelajaran.
Identifikasi jenis-jenis materi pembelajaran. Sejalan dengan berbagai jenis aspek standar kompetensi, materi pembelajaran juga dapat dibedakan menjadi jenis materi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Materi pembelajaran aspek kognitif secara terperinci dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu: fakta, konsep, prinsip dan prosedur. Materi jenis fakta adalah materi berupa nama-nama objek, nama tempat, nama orang, lambang, peristiwa sejarah, nama bagian atau komponen suatu benda, dan lain sebagainya. Materi konsep berupa pengertian, definisi, hakekat, inti isi. Materi jenis prinsip berupa dalil, rumus, postulat adagium, paradigma, teorema. Materi jenis prosedur berupa langkah-langkah mengerjakan sesuatu secara urut, misalnya langkah-langkah menelpon, cara-cara pembuatan telur asin atau cara-cara pembuatan bel listrik. Materi pembelajaran aspek afektif meliputi: pemberian respon, penerimaan (apresisasi), internalisasi, dan penilaian. Materi pembelajaran aspek motorik terdiri dari gerakan awal, semi rutin, dan rutin.
Memilih jenis materi yang sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Materi yang akan diajarkan perlu diidentifikasi apakah termasuk jenis fakta, konsep, prinsip, prosedur, afektif, atau gabungan lebih daripada satu jenis materi. Dengan mengidentifikasi jenis-jenis materi yang akan diajarkan, maka guru akan mendapatkan kemudahan dalam cara mengajarkannya. Setelah jenis materi pembelajaran teridentifikasi, langkah berikutnya adalah memilih jenis materi tersebut yang sesuai dengan standar kompetensi atau kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa. Identifikasi jenis materi pembelajaran juga penting untuk keperluan mengajarkannya. Sebab, setiap jenis materi pembelajaran memerlukan strategi pembelajaran atau metode, media, dan sistem evaluasi/penilaian yang berbeda-beda. Misalnya, metode mengajarkan materi fakta atau hafalan adalah dengan menggunakan “jembatan keledai”, “jembatan ingatan” (mnemonics), sedangkan metode untuk mengajarkan prosedur adalah “demonstrasi”.
Setelah jenis materi ditentukan langkah berikutnya adalah menentukan sumber bahan ajar. Sumber bahan ajar merupakan tempat di mana bahan ajar dapat diperoleh. Dalam mencari sumber bahan ajar, siswa dapat dilibatkan untuk mencarinya, sesuai dengan prinsip pembelajaran siswa aktif. Berbagai sumber dapat kita gunakan untuk mendapatkan materi pembelajaran dari setiap standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sumber-sumber dimaksud dapat disebutkan di bawah ini:
a. Buku teks yang diterbitkan oleh berbagai penerbit . Gunakan sebanyak mungkin buku teks agar dapat diperoleh wawasan yang luas,
b. Laporan hasil penelitian yang diterbitkan oleh lembaga penelitian atau oleh para peneliti sangat berguna untuk mendapatkan sumber bahan ajar yang atual atau mutakhir,
c. Jurnal penerbitan hasil penelitian dan pemikiran ilmiah. Jurnal-jurnal tersebut berisikan berbagai hasil penelitian dan pendapat dari para ahli di bidangnya masing-masing yang telah dikaji kebenarannya,
d. Pakar atau ahli bidang studi penting digunakan sebagai sumber bahan ajar yang dapat dimintai konsultasi mengenai kebenaran materi atau bahan ajar, ruang lingkup, kedalaman, urutan, dan lain sebagainya,
e. Profesional yaitu orang-orang yang bekerja pada bidang tertentu.
f. Buku kurikulum penting untuk digunakan sebagai sumber bahan ajar. Karena berdasar kurikulum itulah standar kompetensi, kompetensi dasar dan materi bahan dapat ditemukan. Hanya saja materi yang tercantum dalam kurikulum hanya berisikan pokok-pokok materi.
g. Penerbitan berkala seperti harian, mingguan, dan bulananyang banyak berisikan informasi yang berkenaan dengan bahan ajar suatu matapelajaran,
h. Internet yang yang banyak ditemui segala macam sumber bahan ajar. Bahkan satuan pelajaran harian untuk berbagai matapelajaran dapat kita peroleh melalui internet. Bahan tersebut dapat dicetak atau dikopi,
i. Berbagai jenis media audiovisual berisikan pula bahan ajar untuk berbagai jenis mata pelajaran. Kita dapat mempelajari gunung berapi, kehidupan di laut, di hutan belantara melalui siaran televisi, dan lingkungan ( alam, sosial, senibudaya, teknik, industri, ekonomi).
Perlu diingat, dalam menyusun rencana pembelajaran berbasis kompetensi, buku-buku atau terbitan tersebut hanya merupakan bahan rujukan. Artinya, tidaklah tepat jika hanya menggantungkan pada buku teks sebagai satu-satunya sumber bahan ajar. Tidak tepat pula tindakan mengganti buku pelajaran pada setiap pergantian semester atau pergantian tahun. Buku-buku pelajaran atau buku teks yang ada perlu dipelajari untuk dipilih dan digunakan sebagai sumber yang relevan dengan materi yang telah dipilih untuk diajarkan. Mengajar bukanlah menyelesaikan satu buku, tetapi membantu siswa mencapai kompetensi. Karena itu, hendaknya guru menggunakan banyak sumber materi. Bagi guru, sumber utama untuk mendapatkan materi pembelajaran adalah buku teks dan buku penunjang yang lain.
5. Menentukan Cakupan dan Urutan Bahan Ajar
a. Menentuan cakupan bahan ajar
Dalam menentukan cakupan atau ruang lingkup materi pembelajaran harus diperhatikan apakah jenis materinya berupa aspek kognitif (fakta, konsep, prinsip, prosedur) aspek afektif, ataukah aspek psikomotorik. Selain itu, perlu diperhatikan pula prinsip-prinsip yang perlu digunakan dalam menentukan cakupan materi pembelajaran yang menyangkut keluasan dan kedalaman materinya. Keluasan cakupan materi berarti menggambarkan berapa banyak materi-materi yang dimasukkan ke dalam suatu materi pembelajaran, sedangkan kedalaman materi menyangkut seberapa detail konsep-konsep yang terkandung di dalamnya harus dipelajari/dikuasai oleh siswa. Prinsip berikutnya adalah prinsip kecukupan (adequacy). Kecukupan (adequacy) atau memadainya cakupan materi juga perlu diperhatikan dalam pengertian. Cukup tidaknya aspek materi dari suatu materi pembelajaran akan sangat membantu tercapainya penguasaan kompetensi dasar yang telah ditentukan. Cakupan atau ruang lingkup materi perlu ditentukan untuk mengetahui apakah materi yang harus dipelajari oleh murid terlalu banyak, terlalu sedikit, atau telah memadai sehingga sesuai dengan kompetensi dasar yang ingin dicapai.
b. Menentukan urutan bahan ajar
Urutan penyajian (sequencing) bahan ajar sangat penting untuk menentukan urutan mempelajari atau mengajarkannya. Tanpa urutan yang tepat, jika di antara beberapa materi pembelajaran mempunyai hubungan yang bersifat prasyarat (prerequisite) akan menyulitkan siswa dalam mempelajarinya. Misalnya materi operasi bilangan penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Siswa akan mengalami kesulitan mempelajari perkalian jika materi penjumlahan belum dipelajari. Dan siswa akan mengalami kesulitan membagi jika materi pengurangan belum dipelajari.
Materi pembelajaran yang sudah ditentukan ruang lingkup serta kedalamannya dapat diurutkan melalui dua pendekatan pokok , yaitu: pendekatan prosedural, dan hierarkis. Pendekatan prosedural yaitu urutan materi pembelajaran secara prosedural menggambarkan langkah-langkah secara urut sesuai dengan langkah-langkah melaksanakan suatu tugas. Misalnya langkah-langkah menelpon, langkah-langkah mengoperasikan peralatan kamera video. Sedangkan pendekatan hierarkis menggambarkan urutan yang bersifat berjenjang dari bawah ke atas atau dari atas ke bawah. Materi sebelumnya harus dipelajari dahulu sebagai prasyarat untuk mempelajari materi berikutnya.
6. Strategi dalam Memanfaatkan Bahan Ajar
Secara garis besarnya, dalam memanfaatkan bahan ajar terdapat dua strategi, yaitu: Strategi penyampaian bahan ajar oleh Guru dan Strategi mempelajari bahan ajar oleh siswa.
a. Strategi Penyampaian Bahan Ajar Oleh Guru :
Strategi penyampaian bahan ajar oleh guru diantaranya:
1. Strategi urutan penyampaian simultan;
2. Strategi urutan penyampaian suksesif;
3. Strategi penyampaian fakta;
4. Strategi penyampaian konsep;
5. Strategi penyampaian materi pembelajaran prinsip; dan
6. Strategi penyampaian prosedur.
Strategi urutan penyampaian simultan yaitu jika guru harus menyampaikan materi pembelajaran lebih daripada satu, maka menurut strategi urutan penyampaian simultan, materi secara keseluruhan disajikan secara serentak, baru kemudian diperdalam satu demi satu (Metode global). Strategi urutan penyampaian suksesif, jika guru harus manyampaikan materi pembelajaran lebih daripada satu, maka menurut strategi urutan panyampaian suksesif, sebuah materi satu demi satu disajikan secara mendalam baru kemudian secara berurutan menyajikan materi berikutnya secara mendalam pula. Strategi penyampaian fakta, jika guru harus manyajikan materi pembelajaran termasuk jenis fakta (nama-nama benda, nama tempat, peristiwa sejarah, nama orang, nama lambang atau simbol, dan lain sebagainya.), Strategi penyampaian konsep, materi pembelajaran jenis konsep adalah materi berupa definisi atau pengertian. Tujuan mempelajari konsep adalah agar siswa paham, dapat menunjukkan ciri-ciri, unsur, membedakan, membandingkan, menggeneralisasi, dsb.Langkah-langkah mengajarkan konsep: Pertama sajikan konsep, kedua berikan bantuan (berupa inti isi, ciri-ciri pokok, contoh dan bukan contoh), ketiga berikan latihan (exercise) misalnya berupa tugas untuk mencari contoh lain, keempat berikan umpan balik, dan kelima berikan tes. Strategi penyampaian materi pembelajaran prinsip, termasuk materi pembelajaran jenis prinsip adalah dalil, rumus, hukum (law), postulat, teorema, dan lain sebagainya. Kemudian strategi penyampaian prosedur, tujuan mempelajari prosedur adalah agar siswa dapat melakukan atau mempraktekkan prosedur tersebut, bukan sekedar paham atau hafal. Termasuk materi pembelajaran jenis prosedur adalah langkah-langkah mengerjakan suatu tugas secara urut.
b. Strategi mempelajari bahan ajar oleh siswa
Ditinjau dari guru, perlakuan (treatment) terhadap materi pembelajaran berupa kegiatan guru menyampaikan atau mengajarkan kepada siswa. Sebaliknya, ditinjau dari segi siswa, perlakuan terhadap materi pembelajaran berupa mempelajari atau berinteraksi dengan materi pembelajaran. Secara khusus dalam mempelajari materi pembelajaran, kegiatan siswa dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu :
1. Menghafal;
2. Menggunakan;
3. Menemukan; dan
4. Memilih.
Yang pertama yaitu menghafal. Ada dua jenis menghafal, yaitu menghafal verbal (remember verbatim) dan menghafal parafrase (remember paraphrase). Menghafal verbal adalah menghafal persis seperti apa adanya. Terdapat materi pembelajaran yang memang harus dihafal persis seperti apa adanya, misalnya nama orang, nama tempat, nama zat, lambang, peristiwa sejarah, nama-nama bagian atau komponen suatu benda, dsb. Sebaliknya ada juga materi pembelajaran yang tidak harus dihafal persis seperti apa adanya tetapi dapat diungkapkan dengan bahasa atau kalimat sendiri (hafal parafrase). Yang penting siswa paham atau mengerti, misalnya paham inti isi Pembukaan UUD 1945, definisi saham, dalil Archimides, dsb.
Kedua menggunakan/mengaplikasikan (Use). Materi pembelajaran setelah dihafal atau dipahami kemudian digunakan atau diaplikasikan. Jadi dalam proses pembelajaran siswa perlu memiliki kemampuan untuk menggunakan, menerapkan atau mengaplikasikan materi yang telah dipelajari. Penggunaan fakta atau data adalah untuk dijadikan bukti dalam rangka pengambilan keputusan. Penggunaan materi konsep adalah untuk menyusun proposisi, dalil, atau rumus. Selain itu, penguasaan atas suatu konsep digunakan untuk menggeneralisasi dan membedakan. Penerapan atau penggunaan prinsip adalah untuk memecahkan masalah pada kasus-kasus lain. Penggunaan materi prosedur adalah untuk dikerjakan atau dipraktekkan. Penggunaan materi sikap adalah berperilaku sesuai nilai atau sikap yang telah dipelajari. Misalnya, siswa berhemat air dalam mandi dan mencuci setelah mendapatkan pelajaran tentang pentingnya bersikap hemat.
Ketiga menemukan. Yang dimaksudkan penemuan (finding) di sini adalah menemukan cara memecahkan masalah-masalah baru dengan menggunakan fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang telah dipelajari. Menemukan merupakan hasil tingkat belajar tingkat tinggi. Yang juga disebut sebagai penerapan strategi kognitif. Misalnya, setelah mempelajari hukum bejana berhubungan seorang siswa dapat membuat peralatan penyiram pot gantung menggunakan pipa-pipa paralon. Contoh lain, setelah mempelajari sifat-sifat angin yang mampu memutar baling-baling siswa dapat membuat protipe, model, atau maket sumur kincir angin untuk mendapatkan air tanah.

Ketiga, memilih. Memilih di sini menyangkut aspek afektif atau sikap. Yang dimaksudkan dengan memilih di sini adalah memilih untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Misalnya memilih membaca novel dari pada membaca tulisan ilmiah. Memilih menaati peraturan lalu lintas tetapi terlambat masuk sekolah atau memilih melanggar tetapi tidak terlambat, dan lain sebagainya.

http://www.activesearchresults.com
http://www.activesearchresults.com/addwebsite.php
http://www.activesearchresults.com/login/register.php
http://www.activesearchresults.com/help/about.php
http://www.activesearchresults.com/searchform.php


Minggu, 17 November 2013

MAKALAH ADAB TERHADAP SESAMA

KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang berjudul “ ADAB DAN IMPLEMENTASI DALAM KEHIDUPAN”
Sebagai seorang muslim yang baik kita tentu tahu bahwa adab terhadap orang tua merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Karena, orang tua adalah orang yang mengenalkan kita pada dunia dari kecil hingga dewasa. Dan setiap orang tua pun pasti mempunyai harapan terhadap anaknya agar kelak menjadi anak yang sukses, berbakti kepada orang tua, serta menjadi lebih baik dan sholeh, di samping itu juga tentunya dalam kehidupan kita sehari-hari tidak terlepas dari interaksi dengan yang ada di sekeliling kita, guru, tetangga, dan sesama makhluk Allah SWT.
Maka dari itu, jika kita memang seorang muslim yang baik hendaknya kita selalu berbakti kepada orang tua, melakukan apa yang telah diperintahkan oleh orang tua, dan pantang untuk membangkang kepada orang tua, dan juga harus memperhatikan yang ada di sekeliling kita agar terciptanya keharmonisan dalam kehidupan.
Namun di zaman dewasa ini banyak dari kita seperti lupa terhadap kewajiban kita terhadap orang tua dan yang ada di sekeliling kita sebagai muslim yang baik, yaitu adalah kita harus memiliki adab dan prilaku yang sempurna terhadap orang tua dan yang ada di sekeliling kita. Makalah ini mengandung poin-poin penting bagaimana menjadi manusia yang beradab dalam kehidupan baik terhadap orang tua, guru, tetangga, tamu, dan sesama manusia. Maka selain sebagai upaya untuk mengerjakan tugas Aqidah Akhlaq, saya berharap bahwa tugas makalah ini juga dapat dijadikan sebagai pengingat bagi setiap orang muslim yang membacanya  akan pentingnya adab dan prilaku yang baik terhadap hal-hal yang ada di sekitar kita.
Demikian makalah ini kami susun dengan harapan dapat memberikan kontribusi yang posisi bagi ummat manusia, dan tak lupa koreksi ataupun saran yang bersifat konstruktif dari para pembaca dengan harapan hasil penyusunan kami lebih baik di kemudian hari.
Terima kasih
Ciamis, November 2013
Penyusun


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Di antara kelaziman hidup bermasyarakat adalah budaya saling hormat menghormati, saling menghargai satu sama lain, dalam keluarga sangatlah penting di tanamkan abad dan tatakrama yang sopan terhadap kedua orang dan santun apabila berbicara terhadap keduanya.
Di zaman yang modern seperti sekarang ini telah banyak pergeseran tentang adab atau prilaku sehingga menjurus kepada dekadensi moral, anak dengan orang tua tiada jarak yang memisahkan seperti layaknya teman sebaya, murid dengan guru sudah tidak bisa lagi dibedakan baik dalam perkataan, perbuatan ataupun prilaku dalam kehidupan sehari-hari yang seakan-akan tidak mencerminkan prilaku seorang guru ataupun peserta didik.
Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita temukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kaidah islamiyyah yang menjunjung tinggi rasa saling menghargai, menghormati. Dalam berkehidupan saling berdampingan dalam satu kawasan ataupun daerah individualisme lah yang sering dimunculkan di mana rasa gotong royong, membantu satu sama lain sudah sangat sulit sekali kita temukan, terlebih di kota-kota besar yang memang notabene memiliki beragam etnis, kebiasaan, dan budaya yang berbeda beda.
Dengan adanya makalah ini penyusun mencoba menjelaskan tentang pandangan islam tentang adab/tatakrama/ prilaku yang seharusnya dijunjung tinggi dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam bergaul satu sama lain, dalam bidang ekonomi sosial budaya dan lain sebagainya.

B.     Perumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini rumusan masalah yang akan d kaji diantaranya:
·         Bagaimana pengertian adab?
·         Bagaimanakah adab seorang anak terhadap kedua orang tua?
·         Bagaimanakah adab seorang anak terhadap guru?
·         Bagaimanakah adab seorang anak terhadap tetangga?
·         Bagaimanakah adab seorang anak terhadap tamu?
·         Bagaimanakah adab seorang anak terhadap sesama?
C.    Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya:
·         Untuk mendiskripsikan pengertian adab.
·         Untuk menjelaskan adab seorang anak terhadap kedua orang tua?
·         Untuk menjelaskan adab seorang anak terhadap guru?
·         Untuk menjelaskan adab seorang anak terhadap tetangga?
·         Untuk menjelaskan adab seorang anak terhadap tamu?
·         Untuk menjelaskan adab seorang anak terhadap sesama?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Adab
Menurut bahasa Adab memiliki arti kesopanan, kehalusan dan kebaikan budi pekerti, akhlak. M. Sastra Praja menjelaskan bahwa, adab yaitu tata cara hidup, penghalusan atau kemuliaan kebudayaan manusia. Sedangkan menurut istilah Adab adalah suatu ibarat tentang pengetahuan yang dapat menjaga diri dari segala sifat yang salah.
Pengertian bahwa adab ialah mencerminkan baik buruknya seseorang, mulia atau hinanya seseorang, terhormat atau tercelanya nilai seseorang. Maka jelaslah bahwa seseorang itu bisa mulia dan terhormat di sisi Allah dan manusia apabila ia memiliki adab dan budi pekerti yang baik.
Seseorang akan menjadi orang yang beradab dengan baik apabila ia mampu menempatkan dirinya pada sifat kehambaan yang hakiki. Tidak merasa sombong dan tinggi hati dan selalu ingat bahwa apa yang ada di dalam dirinya adalah pemberian dari Allah swt. Sifat-sifat tersebut telah dimiliki Rasulullah saw. Secara utuh dan sempurna.
Menurut Imam al-Ghazali akhlak mulia adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh para utusan Allah swt. yaitu para Nabi dan Rasul dan merupakan amal para shadiqin. Akhlak yang baik itu merupakan sebagian dari agama dan hasil dari sikap sungguh-sungguh dari latihan yang dilakukan oleh para ahli ibadah dan para mutaqin.
Al-Ghazali berpendapat bahwa pendidikan akhlak hendaknya didasarkan atas mujahadah (ketekunan) dan latihan jiwa. Mujahadah dan riyadhah-nafsiyah (ketekunan dan latihan kejiwaan) menurut al-Ghazali ialah membebani jiwa dengan amal-amal perbuatan yang ditujukan kepada khuluk yang baik, sebagaimana kata beliau: Barangsiapa yang ingin dirinya mempunyai akhlak pemurah, maka ia harus melatih diri untuk melakukan perbuatan-perbuatan pemurah, yakni dermawan, dan gemar bersedekah. Jika beramal bersedekah dilakukan secara istiqamah, maka akan jadi kebiasaan.
Hal ini sejalan dengan firman Allah swt :
Artinya :
“... dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik,,,.”
Konsepsi pendidikan modern saat ini sejalan dengan pandangan al-Ghazali tentang pentingnya pembiasaan melakukan suatu perbuatan sebagai suatu metode pembentukan akhlak yang utama. Pandangan al-Ghazali tersebut sesuai dengan pandangan ahli pendidikan Amerika Serikat, John Dewey, yang dikutip oleh Ali Al Jumbulati menyatakan: Pendidikan moral terbentuk dari proses pendidikan dalam kehidupan dan kegiatan yang dilakukan oleh murid secara terus-menerus.

B.     Adab terhadap Orang Tua
Orang muslim meyakini hak kedua orang tua terhadap dirinya, kewajiban berbakti, taat, dan berbuat baik kepada keduanya. Tidak karena keduanya penyebab keberadaannya hingga ia harus berbalas budi kepada keduanya, tetapi karena Allah Azza wa Jalla mewajibkan taat, menyuruh berbakti, dan berbuat bakti kepada keduanya. Bahkan, Allah Ta’ala mengaitkan hak orang tua tersebut dengan hak-Nya yang berupa penyembahan kepada diri-Nya dan tidak kepada yang lain. Allah Azza wa Jalla berfirman :
* 4Ó|Ós%ur y7/u žwr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7tƒ x8yYÏã uŽy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdŸxÏ. Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ  

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (Al Isra’ : 23)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
$uZøŠ¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷ƒyÏ9ºuqÎ/ çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $·Z÷dur 4n?tã 9`÷dur ¼çmè=»|ÁÏùur Îû Èû÷ütB%tæ Èbr& öà6ô©$# Í< y7÷ƒyÏ9ºuqÎ9ur ¥n<Î) 玍ÅÁyJø9$# ÇÊÍÈ  

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Luqman : 14)
Seseorang yang bertanya kepada Rasulullah SAW, “Siapakah yang berhak mendapatkan pergaulanku yang baik?” Rasulullah SAW bersabda, “ Ibumu”. Orang tersebut bertanya lagi, “Siapa lagi?” Rasulullah SAW bersabda, “ Ibumu”. Orang tersebut bertanya lagi, “Siapa lagi?” Rasulullah SAW bersabda, “ Ibumu”. Orang tersebut bertanya lagi, “Siapa lagi?” Rasulullah SAW bersabda, “ Ayahmu”.
Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian durhaka kepada kedua orang tua, menahan hak, dan mengubur hidup anak perempuan. Allah membenci untuk kalian mengosip, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta.” (Muttafaq Alaih)
Rasulullah SAW bersabda,
“Seorang anak tidak bisa membalas ayahnya, kecuali ia menemukan ayahnya menjadi budak, kemudian ia membelinya dan memerdekaannya” (Muttafaq Alaih)
Salah seorang sahabat datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta izin berjihad, kemudian beliau bertanya, “ Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Sahabat tersebut menjawab, “Ya keduanya masih hidup”, Rasulullah SAW bersabda, “Mintalah izin kepada keduanya, kemudian berjihadlah.”
Salah seorang kaum Anshar datang kepada Rasulullah SAW, kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku masih mempunya kewajiban bakti kepada orang tua yang harus aku kerjakan setelah kematian keduanya?” Rasulullah SAW bersabda, “Ya ada, yaitu empat hal : Mendoakan keduanya, memintakan ampunan untuk keduanya, melaksanakan janji keduanya, memuliakan teman-teman keduanya, dan menyambungkan sanak famili di mana engkau tidak mempunyai hubungan kekerabatan kecuali dari jalur keduanya. Itulah bentuk bakti engkau kepada keduanya setelah kematian keduanya.” (Diriwayatkan Abu Daud).
Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya bakti terbaik ialah hendaknya seorang anak tetap menyambung hubungan keluarga ayahnya setelah ayahnya menyambungnya.” (Diriwayatkan Muslim)
Setelah orang muslim mengetahui hak kedua orang tua atas dirinya dan menunaikannya dengan sempurna karena mereka mentaati Allah Ta’ala dan merealisir wasiat-Nya, maka juga menjaga etika-etika berikut ini terhadap kedua orang tuanya :
1.        Taat kepada kedua orang tua dalam semua perintah dan larangan keduanya, selama di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan kepada Allah, dan pelanggaran terhadap syariat-Nya, karena manusia tidak berkewajibab taak kepada manusia sesamanya dalam bermaksiat kepada Allah, berdasarkan dalil-dalil berikut :
bÎ)ur š#yyg»y_ #n?tã br& šÍô±è@ Î1 $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ ÖNù=Ïæ Ÿxsù $yJßg÷èÏÜè? ( $yJßgö6Ïm$|¹ur Îû $u÷R9$# $]ùrã÷ètB ( ôìÎ7¨?$#ur Ÿ@Î6y ô`tB z>$tRr& ¥n<Î) 4 ¢OèO ¥n<Î) öNä3ãèÅ_ötB Nà6ã¥Îm;tRé'sù $yJÎ/ óOçFZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÊÎÈ  
“dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Sabda Rasulullah SAW,
“ Tidak ada kewajiban ketaatan bagi manusia dalam maksiat kepada Allah”
2.      Hormat dan menghargai kepada keduanya, merendahkan suara dan memuliakan keduanya dengan perkataan dan perbuatan yang baik, tidak menghardik dan tidak mengangkat suara di atas suara keduanya, tidak berjalan di depan keduanya, tidak mendahulukan istri dan anak atas keduanya, tidak memanggil keduanya dengan namanya namun memanggil keduanya dengan panggilan, “Ayah, ibu,” dan tidak berpergian kecuali dengan izin dan kerelaan keduanya.
3.      Berbakti kepada keduanya dengan apa saja yang mampu ia kerjakan, dan sesuai dengan kemampuannya, seperti memberi makan-pakaian keduanya, mengobati penyakit keduanya, menghilangkan madzarat dari keduanya, dan mengalahkan untuk kebaikan keduanya.
4.      Menyambung hubungan kekerabatan dimana ia tidak mempunya hubungan kecuali dari jalur kedua orang tuanya mendoakan dan memintakan ampunan untuk keduanya, melaksanakan janji (wasiat), dan memuliakan teman-teman keduanya. 

C.    Adab Terhadap guru
Sesungguhmya adab yang mulia adalah salah satu faktor penentu kebahagiaan dan keberhasilan seseorang. Begitu juga sebaliknya, kurang adab atau tidak beradab adalah alamat (tanda) jelek dan jurang kehancurannya. Tidaklah kebaikan dunia dan akhirat kecuali dapat diraih dengan adab, dan tidaklah tercegah kebaikan dunia dan akhirat melainkan karena kurangnya adab. (Madarijus Salikin, 2/39)
Di antara adab-adab yang telah disepakari adalah adab murid kepada syaikh atau gurunya. Imam Ibnu Hazm berkata: “Para ulama bersepakat, wajibnya memuliakan ahli al-Qur’an, ahli Islam dan Nabi. Demikian pula wajib memuliakan kholifah, orang yang punya keutamaan dan orang yang berilmu.” (al-Adab as-Syar’iah 1/408)
Berikut ini beberapa adab yang selayaknya dimiliki oleh penuntut ilmu ketika menimba ilmu kepada gurunya. Sebagai nasehat bagi kami, selaku seseorang yang masih belajar dan nasehat bagi saudara-saudara kami seiman yang sedang dan ingin menimba ilmu. Allohul Muwaffiq.
1.      Ikhlas sebelum melangkah
Pertama kali sebelum me­langkah untuk menuntut ilmu hendaknya kita berusaha selalu mengikhlaskan niat. Sebagaimana telah jelas niat adalah fak­tor penentu diterimanya sebuah amalan. Ilmu yang kita pelajari adalah ibadah, amalan yang mu­lia, maka sudah barang tentu butuh niat yang ikhlas dalam menjalaninya. Belajar bukan karena ingin disebut sebagai pak ustadz, ?rang alim atau ingin meraih ba-iian dunia yang menipu.
Dalil akan pentingnya ikhlas beramal di antaranya firman Allah:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء
Artinya :
“ Padahal mereka tidakdisuruh kecuali supaya menyembah Alloh dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam(menjalankan) agama yang lurus”.(QS. al-Bayyinah [98]: 5)
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“ Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk membantah orang bodoh, atau berbangga di hadapan ulama atau mencari perhatian manusia, maka dia masuk neraka. (HR. Ibnu Majah 253, Syaikh al-Albani menyatakan hadits ini hasan dalam al-Misykah 225)
Imam ad-Daruqutni berkata: “Dahulu kami menuntut ilmu untuk selain Alloh, akan tetapi ilmu itu enggan kecuali untuk Alloh.” (Tadzkiratus Sami hal. 47, lihat Ma’alim fi Thoricj Tholibil llmihal. 20).
Imam asy-Syaukani berkata: “Pertama kali yang wajib bagi seorang penuntut ilmu adalah meluruskan niatnya. Hendaklah yang tergambar dari perkara yang ia kehendaki adalah syariat Alloh, yang dengannya diturunkan para Rosul dan al-Kitab. Hendaklah penuntut ilmu membersihkan dirinya dari tujuan-tujuan duniawi, atau karena ingin inencapai kemuliaan, kepemimpinan dan Iain-lain. Ilmu ini mulia, tidak menerima selainnya.” (Adabut Tholab wa Muntaha al-Arab hal. 21)
Apabila keikhlasan telah hilang ketika belajar, maka amalan ini (menuntut ilmu) akan berpindah dari keutamaan yang paling utama menjadi kesalahan yang paling rendah!. (at-Ta’liq as-Tsamin hal. 18)
2.      Jangan mencari guru sembarangan
Ibnu Jama’ah al-Kinani berkata: “Hendaklah penuntut ilmu mendahulukan pandangannya, istikhoroh kepada Alloh untuk memilih kepada siapa dia berguru. Hendaklah dia memilih guru yang benar-benar ahli, benar-benar lembut dan terjaga kehormatannya. Hendaklah murid memilih guru yang paling bagus dalam mengajar dan paling ba­gus dalam memberi pemahaman. Janganlah dia berguru kepada orang yang sedikit sifat waro’nya atau agamanya atau tidak punya akhlak yang bagus.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim hal. 86)
Bukan sebuah aib apabila kita menuntut ilmu dari orang alim yang masih muda. Imam Ibnu Muflih berkata: “Fasal mengam­bil ilmu dari ahlinya sekalipun masih berusia muda.” (al-Adab asy-Syari’ah 2/214)
Sahabat Abdulloh bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Aku dahulu membacakan ilmu kepada beberapa orang muhajirin, di antara mereka ada Abdurrahman bin Auf.” (HR. Bukhori 6442).
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah ber­kata: “Dalam hadits ini terdapat peringatan akan perlunya mengambil ilmu dari ahlinya sekalipun masih berusia muda atau sedikit kedudukannya.” (Kasyful Musykil, lihat Adab at-Tatalmudz hal. 16)
Imam Ibnu Abdil Barr berka­ta: “Orang yang bodoh itu tetap dikatakan rendah sekalipun dia seorang syaikh. Dan orang yang berilmu itu tetap mulia sekalipun masih muda.” (Jami’ Bayanil Ilmi, Adab at-Tatalmudz hal. 16)
3.      Mengagungkan guru
Mengagungkan orang yang berilmu termasuk perkara yang dianjurkan. Sebagaimana Rasululloh bersabda : “ bukanlah termasuk golongan kami orang   yang   tidak   menghorrmti orang yang tua, tidak menyayangi yang muda dan tidak mengerti hak ulama kami. (HR. Ahmad 5/323, Hakim 1/122. Dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohih Targhib 1/117)
Imam Nawawi rahimahullah berka­ta: “Hendaklah seorang murid memperhatikan gurunya dengan pandangan penghormatan. Hen­daklah ia meyakini keahlian gu­runya dibandingkan yang lain. Karena hal itu akan menghantarkan seorang murid untuk banyak mengambil manfaat darinya, dan lebih bisa membekas dalam hati terhadap apa yang ia dengar dari gurunya tersebut.” (al-Majmu’ 1/84)
4.      Akuilah keutamaan gurumu
Khothib al-Baghdadi berkata: “Wajib bagi seorang murid untuk mengakui keutamaan gurunya yang faqih dan hendaklah pula menyadari bahwa dirinya banyak mengambil ilmu dari gurunya.” (al-Faqih wal Mutafaqqih 1/196)
Ibnu Jamaah al-Kinani ber­kata: “Hendaklah seorang mu­rid mengenal hak gurunya, jangan dilupakan semua jasanya.” (Tadzkiratus Sami’ hal. 90)
5.      Doakan kebaikan
Rasululloh bersabda : “Apabila ada yang berbuat baik kepadamu maka balaslah denganbalasan yang setimpal. Apabila kamu tidak bisa membalasnya, maka doakanlah dia hingga engkau memandang telah mencukupi untuk membalas dengan balasan yang setimpal.” (HR. Abu Dawud 1672, Nasa’i 1/358, Ah­mad 2/68, Hakim 1/412 Bukhori dalam al-Adab al-Mufrod no. 216, Ibnu Hibban 2071, Baihaqi 4/199, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 9/56. Lihat as-Shohihah 254)
Imam Abu Hanifah berkata: “Tidaklah aku sholat sejak kematian Hammad kecuali aku memintakan ampun untuknya dan orang tuaku. Aku selalu me­mintakan ampun untuk orang yang aku belajar darinya atau yang mengajariku ilmu.” (Mana-qib Imam Abu Hanifah. Lihat Adab at-Tatalmudz hal. 28)
Ibnu Jama’ah berkata: “Hen­daklah seorang penuntut ilmu mendoakan gurunya sepanjang masa. Memperhatikan anak-anaknya, kerabatnya dan menunaikan haknya apabila telah wafat.” (Tadzkiroh Sami’ hal. 91)
6.      Rendah diri kepada guru
Ibnu Jama’ah rahimahullah berkata: “Hendaklah seorang murid mengetahui bahwa rendah dirinya kepada seorang guru adalah kemuliaan, dan tunduknya adalah kebanggaan.” (Tadzkiroh Sami’ hal. 88)
Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma de­ngan kemuliaan dan kedudukannya yang agung, beliau men­gambil tali kekang unta Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu seraya berkata: “Demikianlah kita diperintah untuk berbuat baik kepada ulama.” (as-Syifa 2/608) al-Khothib telah meriwayatkan dalam kitab Jami’nya bahwa Ibnul Mu’taz berkata: “Orang yang rendah diri dalam belajar adalah yang paling banyak ilmunya sebagaimana tempat yang rendah adalah tempat yang pa­ling banyak airnya.” (Adab at-Tat­almudz hal. 32)
7.      Mencontoh akhlaknya
Hendaklah seorang penun­tut ilmu mencontoh akhlak dan kepribadian guru. Mencontoh kebiasaan dan ibadahnya. (Tadz­kiroh Sami’ hal. 86) Qoshim bin Salam menceritakan: “Adalah para murid Ibnu Mas’ud mereka belajar kepada­nya untuk melihat akhlak, ke­pribadian dan kemudian menirunya.” (Adab at-Tatalmudz hal. 40)
Bila pelajaran sudah dimulai
Bila pelajaran telah dimulai hendaklah bagi seorang penuntut ilmu memperhatikan hal-hal berikut;
·         Menghadirkan hati dan perhatian dengan seksama
Apabila telah hadir dalam majelis ilmu maka pusatkanlah perhatianmu untuk mendengar dan memahami pelajaran. Jangan biarkan hati menerawang ke-mana-mana. Konsentrasi penuh, karena sikap yang demikian akan membuat pelajaran lebih membekas dan terpahami.
Ibnu Jama’ah berkata: “Hen­daklah seorang murid ketika menghadiri pelajaran gurunya memfokuskan hatinya dan ber-sih dari segala kesibukan. Piki-rannya penuh konsentrasi, ti­dak dalam keadaan mengantuk, marah, haus, lapar dan lain seba-gainya. Yang demikian agar hati­nya benar-benar menerima dan memahami terhadap apa yang dijelaskan dan apa yang dia de-ngar.” (Tadzkiroh Sami’ hal. 96)
·         Mengenakan pakaian yang bersih
Hal ini harus diperhatikan pula. Hendaklah seorang murid berpakaian yang sopan dan ber­sih. Ingatlah ketika malaikat Jibril bertanya kepada Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau sangat bersih pakaian dan keadaan dirinya. Umar bin Khoththob mengatakan: “Ketika kami duduk di sisi Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari, tiba-tiba datang kepada kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, rambutnya sangat hitam, tidak terlihat padanya bekas perjalanan jauh.” (HR. Muslim 8, Abu Dawud 4695, Tirmidzi 2610, Nasa’i 8/97, Ibnu Majah 63 dan selainnya.)
Karena kondisi yang bersih menandakan bahwa seorang murid siap menerima pelajaran dan ilmu. Maka jangan salah-kan apabila ilmu tidak mere-sap dalam dada karena kondisi kita yang kurang siap, pakaian penuh keringat, kepanasan dan sebagainya.
·         Duduk dengan tenang
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin berkata: “Duduklah dengan duduk penuh adab. Jangan engkau luruskan kakimu di hadapannya, ini termasuk adab yang jelek. Jangan duduk dengan bersandar, ini juga adab yang jelek apalagi di tempat be­lajar. Lain halnya jika engkau duduk di tempat umum, maka ini lebih ringan.” (at-Ta’liq as-Tsamin hal. 181)
·         Bertanya kepada guru
Ilmu adalah bertanya dan menjawab. Dahulu dikatakan, “Bertanya dengan baik adalah setengah ilmu.” (Fathul Bari 1/142). Bertanya dengan tenang, tidak tergesa-gesa dan pergunakanlah bahasa yang santun lagi sopan. Jangan guru itu dipanggil dengan namanya, katakanlah wahai guruku dan semisalnya. Karena guru perlu dihormati, jangan disamakan de­ngan teman. Alloh berfirman;
لَا تَجْعَلُوا دُعَاء الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاء بَعْضِكُم بَعْضاً
Artinya :
“ Janganlah kamu jadikan panggilan Rosul di antara kamu seperti pang­gilan sebahagian kamu kepada seba-hagian (yang lain)” (QS. an-Nur [24]: 63).
Ayat ini adalah pokok untuk membedakan orang yang punya kedudukan dengan orang yang biasa. Harap dibedakan keduanya. (al-Faqih wal Mutafaqqih, Adab at-Tatalmudz hal. 52).
Perhatian. Sering kita jumpai se­bagian para penuntut ilmu memaksa gurunya untuk menjawab dengan dalil atas sebuah pertanyaan. Seolah-olah sang murid belum puas dan terus mendesak seperti berkata kenapa begini, soya belum terima, siapa yang ber­kata demikian, semua ini harus dihindari. Pahamilah wahai saudaraku, guru adalah manusia biasa, bisa lupa dan bersalah. Apabila engkau pandang gurumu salah atau lupa dengan dalilnya maka janganlah engkau memaksa terus dan jangan memalingkan muka darinya. Berilah waktu untuk mendatangkan dalil di kesempatan lain. Jagalah adab ini, jangan sampai sang guru menjadi jemu, marah hanya karena melayani pertanyaanmu.
Syaikh al-Albani berkata: “Kadangkala seorang alim tidak bisa mendatangkan dalil atas se­buah pertanyaan, khususnya apa­bila dalilnya adalah sebuah istinbat hukum yang tidak dinashkan secara jelas dalam al-Qur’an dan Sunnah. Semisal ini tidak pantas bagi penanya untuk terlalu mendalam bertanya akan dalilnya. Menyebutkan dalil adalah wajib ketika realita menuntut demikian. Akan tetapi tidak wajib baginya acapkali ditanya harus menjawab Allah berfirman demikian, Rosul bersabda demikian, lebih-lebih dalam perkara fiqih yang rumit yang diperselisihkan. (Majalah al-Asholah edisi. 8 hal. 76. Lihat at-Ta’liq as-Tsamin hal. 188)
·         Perhatikan keadaan gurumu
Memperhatikan keadaan guru merupakan perkara yang penting. Karena mengajar butuh persiapan yang penuh. Jangan bertanya atau meminta belajar ketika kondisi guru tidak siap, semisal sedang sibuk, banyak permasalahan, sedih dan sebagainya.
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Janganlah engkau meminta belajar kepadanya ketika dia sibuk, sedang sedih, kelelahan, dan Iain-lain, karena hal itu akan menyebabkan dia malas untuk menjelaskan pelajaran kepadamu.” (al-Majmu’ 1/86)
8.      Membela kehormatan guru
Ketahuilah selayaknya bagi siapa saja yang mendengar orang yang sedang mengghibah kehor­matan seorang muslim, hendaklah dia membantah dan menasehati orang tersebut. Apabila tidak bisa diam dengan lisan maka dengan tangan, apabila orang yang mengghibah tidak bisa dinasehati juga dengan tangan dan lesan maka tinggalkanlah tempat tersebut. Apabila dia mendengar orang yang mengghibah gurunya atau siapa saja yang mempunyai kedudukan, keutamaan dan kesholihan, maka hendaklah dia lebih serius untuk membantahnya. (Shohih al-Adzkar 2/832, Adab at-Tatalmudz hal. 33)
9.      Jangan berlebihan kepada guru
Guru adalah manusia biasa. Tidak harus semua perkataannya diterima mentah-mentah tanpa menimbangnya menurut kaidah syar’iah. Orang yang selalu manut terhadap perkataan guru, bahkan sampai membela mati-matian ucapannya adalah termasuk sikap ghuluw (berlebih-lebihan). Apabila telah jelas kekeliruan guru maka nasehatilah, jangan diikuti kesalahannya. Jangan seorang guru dijadikan tandingan bagi Alloh dalam syariat ini. Alloh berfirman;
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً وَاحِداً لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Artinya :
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rohib-rohib mereka se-bagai Robb-Robb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Robb) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Alloh dari apa yang me­reka persekutukan”. (QS. at-Taubah [9]: 31)
Imam Mawardi rahimahullahmengatakan, “Sebagian para pengikut orang alim berbuat ghuluw kepada gurunya. Hingga menja­dikan perkataannya sebagai dalil sekalipun sebenarnya tidak bisa dijadikan dalil. Meyakini ucap­annya sebagai hujjah sekalipun bukan hujjah.” (Adab Dunya hal. 49, Adab at-Tatalmudz hal. 38)
10.  Bila guru bersalah
Sudah menjadi ketetapan yang mapan bahwasanya tidak ada seorang pun yang selamat dari kesalahan. Salah merupakan hal yang wajar terjadi pada ma­nusia. Rosululloh -SHI bersabda;
Seluruh bani Adam banyak bersalah. Dan sebaik-baiknya orang yang ba­nyak bersalah adalah yang bertaubat. (HR. Tirmidzi 2499, Ibnu Majah 4251, Ahmad 3/198, ad-Darimi 273, Hakim 4/244; Lihat Shohih Jami’us Shoghir 4515).
Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Barangsiapa yang mempunyai ilmu dia akan mengetahui de­ngan pasti bahwa orang yang mempunyai kemuliaan, mempu­nyai peran dan pengaruh dalam Islam maka hukumnya seperti ahli Islam yang lain. Kadang-kala dia tergelincir dan bersalah. Orang yang semacam ini diberi udzur bahkan bisa diberi pahala karena ijtihadnya, tidak boleh kesalahannya diikuti, kedudukannya tidak boleh dilecehkan di hadapan manusia.” (I’lamul Muwaqqi’in 3/295)’

D.    Adab Terhadap Tetangga
1.      Definisi Tetangga
Kata Al Jaar (tetangga) dalam bahasa Arab berarti orang yang bersebelahan denganmu. Ibnu Mandzur berkata: “الجِوَار , الْمُجَاوَرَة dan الْجَارُ bermakna orang yang bersebelahan denganmu. Bentuk pluralnya أَجْوَارٌ , جِيْرَةٌ dan جِيْرَانٌ”. Sedang secara istilah syar’i bermakna orang yang bersebelahan secara syar’i baik dia seorang muslim atau kafir, baik atau jahat, teman atau musuh, berbuat baik atau jelek, bermanfaat atau merugikan dan kerabat atau bukan.
Tetangga memiliki tingkatan, sebagiannya lebih tinggi dari sebagian yang lainnya, bertambah dan berkurang sesuai dengan kedekatan dan kejauhannya, kekerabatan, agama dan ketakwaannya serta yang sejenisnya.
Adapun batasannya masih diperselisihkan para ulama, di antara pendapat mereka adalah:       
1.      Batasan tetangga yang mu’tabar adalah 40 rumah dari semua arah.
2.      sepuluh rumah dari semua arah.
3.      orang yang mendengar azan adalah tetangga.
4.      tetangga adalah yang menempel dan bersebelahan saja.
5.      batasannya adalah mereka yang disatukan oleh satu masjid.
Yang lebih kuat, insya Allah, batasannya kembali kepada adat yang berlaku. Apa yang menurut adat adalah tetangga maka itulah tetangga. Wallahu A’lam.
Dengan demikian jelaslah tetangga rumah adalah bentuk yang paling jelas dari hakikat tetangga, akan tetapi pengertian tetangga tidak hanya terbatas pada hal itu saja bahkan lebih luas lagi. Karena dianggap tetangga juga tetangga di pertokoan, pasar, lahan pertanian, tempat belajar dan tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya ketetanggaan. Demikian juga teman perjalanan karena mereka saling bertetanggaan baik tempat atau badan dan setiap mereka memiliki kewajiban menunaikan hak tetangganya.
2.      Wasiat Islam Terhadap Tetangga
مَا زَالَ يُوصِينِي جِبْرِيلُ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Jibril senantiasa berwasiat kepadaku dengan tetangga sehingga aku menyangka tetangga tersebut akan mewarisinya.”
Hadits yang agung ini menunjukkan urgensi dan kedudukan tetangga dalam Islam. Tetangga memiliki kedudukan arti penting dan hak-hak yang harus diperhatikan setiap muslim. Sehingga dengan demikian konsep Islam sebagai rahmat untuk alam semesta dapat direalisasikan dan dirasakan oleh setiap manusia.
Islam telah berwasiat untuk memuliakan tetangga dan menjaga hak-haknya, bahkan Allah menyambung hak tetangga dengan ibadah dan tauhid-Nya serta berbuat bakti kepada kedua orang tua, anak yatim dan kerabat, sebagaimana firman-Nya:
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَتُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا
Artinya :
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. Annisaa’: 36)
Hal ini menunjukkan wasiat dengan tetangga tersebut meliputi penjagaan, berbuat baik kepadanya, tidak berbuat jahat dan mengganggunya, selalu bertanya tentang keadaannya dan memberikan kebaikan kepadanya. Ini semua adalah bentuk perhatian dan motivasi syariat dalam menjaga dan menunaikan hak-hak mereka. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan pelanggaran kehormatan tetangga sebagai salah satu dosa terbesar dalam sabdanya ketika ditanya:
Dosa apa yang terbesar di sisi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Menjadikan sekutu tandingan Allah, padahal Allah yang menciptakanmu.” Saya (Ibnu Mas’ud) bertanya: “Kemudian apa?” beliau menjawab: “Kemudian membunuh anakmu karena khawatir dia makan bersamamu” lalu saya bertanya lagi: “Kemudian apa?” beliau menjawab: “Berzina dengan istri tetanggamu.”
3.      Hak-Hak Tetangga
Telah jelas tetangga memiliki hak yang besar dan kedudukan yang tinggi dalam islam. Hak-hak mereka kalau dirinci akan sangat banyak sekali, akan tetapi semuanya dapat dikembalikan kepada empat hak yaitu:
·         Pertama, berbuat baik (ihsan) kepada mereka.
Berbuat baik dalam segala sesuatu adalah karakteristik islam, demikian juga pada tetangga. Imam Al Marwazi meriwayatkan dari Al Hasan Al Bashriy pernyataan beliau: “Tidak mengganggu bukan termasuk berbuat baik kepada tetangga akan tetapi berbuat baik terhadap tetangga dengan sabar atas gangguannya.” Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sebaik-baiknya sahabat di sisi Allah adalah yang paling baik kepada sahabatnya. Dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah yang paling baik pada tetangganya.”
Di antara ihsan kepada tetangga adalah memuliakannya. Sikap ini menjadi salah satu tanda kesempurnaan iman seorang muslim.Di antara bentuk ihsan yang lainnya adalah ta’ziyah ketika mereka mendapat musibah, mengucapkan selamat ketika mendapat kebahagiaan, menjenguknya ketika sakit, memulai salam dan bermuka manis ketika bertemu dengannya dan membantu membimbingnya kepada hal-hal yang bermanfaat dunia akhirat serta memberi mereka hadiah. Aisyah radhiallahu ‘anha bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي جَارَيْنِ فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي قَالَ إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا
“Wahai Rasulullah saya memiliki dua tetangga lalu kepada siapa dari keduanya aku memberi hadiah? Beliau menjawab: kepada yang pintunya paling dekat kepadamu.”
·         Kedua, sabar menghadapi gangguan tetangga.
Ini adalah hak kedua untuk tetangga yang berhubungan erat dengan yang pertama dan menjadi penyempurnanya. Hal ini dilakukan dengan memaafkan kesalahan dan perbuatan jelek mereka, khususnya kesalahan yang tidak disengaja atau sudah dia sesali kejadiannya.
Hasan Al Bashri berkata: “Tidak mengganggu bukan termasuk berbuat baik kepada tetangga akan tetapi berbuat baik terhadap tetangga dengan sabar atas gangguannya.” Sebagian ulama berkata: “Kesempurnaan berbuat baik kepada tetangga ada pada empat hal, (1) senang dan bahagia dengan apa yang dimilikinya, (2) Tidak tamak untuk memiliki apa yang dimilikinya, (3) Mencegah gangguan darinya, (4) Bersabar dari gangguannya.”
·         Ketiga, menjaga dan memelihara tetangga.
Imam Ibnu Abi Jamroh berkata: “Menjaga tetangga termasuk kesempurnaan iman. Orang jahiliyah dahulu sangat menjaga hal ini dan melaksanakan wasiat berbuat baik ini dengan memberikan beraneka ragam kebaikan sesuai kemampuan; seperti hadiah, salam, muka manis ketika bertemu, membantu memenuhi kebutuhan mereka, menahan sebab-sebab yang mengganggu mereka dengan segala macamnya baik jasmani atau maknawi. Apalagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meniadakan iman dari orang yang selalu mengganggu tetangganya. Ini merupakan ungkapan tegas yang mengisyaratkan besarnya hak tetangga dan mengganggunya termasuk dosa besar.”
·         Keempat, tidak mengganggu tetangga.
Telah dijelaskan di atas akan kedudukan tetangga yang tinggi dan hak-haknya terjaga dalam islam. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan dengan keras upaya mengganggu tetangga, sebagaimana dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidak demi Allah tidak beriman, tidak demi Allah tidak beriman, tidak demi Allah tidak beriman mereka bertanya: siapakah itu wahai Rasulullah beliau menjawab: orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatannya.” (HR. Bukhori)
Demikian juga dalam hadits yang lain beliau bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ
 “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah mengganggu tetangganya.”
E.     Adab Terhadap Tamu
Di antara kelaziman hidup bermasyarakat adalah budaya saling mengunjungi atau bertamu, yang dikenal dengan isitilah silaturrahmi oleh kebanyakan masyarakat. Walaupun sesungguhnya istilah silaturrahmi itu lebih tepat (dalam syari’at) digunakan khusus untuk berkunjung/ bertamu kepada sanak famili dalam rangka mempererat hubungan kekerabatan.Namun, bertamu, baik itu kepada sanak kerabat, tetangga, relasi, atau pihak lainnya, bukanlah sekedar budaya semata melainkan termasuk perkara yang dianjurkan di dalam agama Islam yang mulia ini. Karena berkunjung/bertamu merupakan salah satu sarana untuk saling mengenal dan mempererat tali persaudaraan terhadap sesama muslim. Allah berfirman: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa.” (Al Hujurat: 13)
Berikut ini adalah adab-adab yang berkaitan dengan tamu dan bertamu. Kami membagi pembahasan ini dalam dua bagian, yaitu adab bagi tuan rumah dan adab bagi tamu.
·         Adab Bagi Tuan Rumah
  1. Ketika mengundang seseorang, hendaknya mengundang orang-orang yang bertakwa, bukan orang yang fajir (bermudah-mudahan dalam dosa), sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا,وَلاَ يَأْكُلُ طَعَامَك َإِلاَّ تَقِيٌّ
“Janganlah engkau berteman melainkan dengan seorang mukmin, dan janganlah memakan makananmu melainkan orang yang bertakwa!” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
  1. Tidak mengkhususkan mengundang orang-orang kaya saja, tanpa mengundang orang miskin, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الأَغْنِيَاءُ ، وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ
“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana orang-orang kayanya diundang dan orang-orang miskinnya ditinggalkan.” (HR. Bukhari Muslim)
  1. Tidak mengundang seorang yang diketahui akan memberatkannya kalau diundang.
  2. Disunahkan mengucapkan selamat datang kepada para tamu sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya tatkala utusan Abi Qais datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
مَرْحَبًا بِالْوَفْدِ الَّذِينَ جَاءُوا غَيْرَ خَزَايَا وَلاَ نَدَامَى
“Selamat datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa terhina dan menyesal.” (HR. Bukhari)
  1. Menghormati tamu dan menyediakan hidangan untuk tamu makanan semampunya saja. Akan tetapi, tetap berusaha sebaik mungkin untuk menyediakan makanan yang terbaik. Allah ta’ala telah berfirman yang mengisahkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam bersama tamu-tamunya:
فَرَاغَ إِلىَ أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِيْنٍ . فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ آلاَ تَأْكُلُوْنَ
“Dan Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging anak sapi gemuk kemudian ia mendekatkan makanan tersebut pada mereka (tamu-tamu Ibrahim-ed) sambil berkata: ‘Tidakkah kalian makan?’” (Qs. Adz-Dzariyat: 26-27)
  1. Dalam penyajiannya tidak bermaksud untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga, tetapi bermaksud untuk mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Nabi sebelum beliau, seperti Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Beliau diberi gelar “Abu Dhifan” (Bapak para tamu) karena betapa mulianya beliau dalam menjamu tamu.
  2. Hendaknya juga, dalam pelayanannya diniatkan untuk memberikan kegembiraan kepada sesama muslim.
  3. Mendahulukan tamu yang sebelah kanan daripada yang sebelah kiri. Hal ini dilakukan apabila para tamu duduk dengan tertib.
  4. Mendahulukan tamu yang lebih tua daripada tamu yang lebih muda, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُجِلَّ كَبِيْرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barang siapa yang tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami serta tidak menghormati yang lebih tua dari kami bukanlah golongan kami.” (HR Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad). Hadits ini menunjukkan perintah untuk menghormati orang yang lebih tua.
  1. Jangan mengangkat makanan yang dihidangkan sebelum tamu selesai menikmatinya.
  2. Di antara adab orang yang memberikan hidangan ialah mengajak mereka berbincang-bincang dengan pembicaraan yang menyenangkan, tidak tidur sebelum mereka tidur, tidak mengeluhkan kehadiran mereka, bermuka manis ketika mereka datang, dan merasa kehilangan tatkala pamitan pulang.
  3. Mendekatkan makanan kepada tamu tatkala menghidangkan makanan tersebut kepadanya sebagaimana Allah ceritakan tentang Ibrahim ‘alaihis salam,
فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ
“Kemudian Ibrahim mendekatkan hidangan tersebut pada mereka.” (Qs. Adz-Dzariyat: 27)
  1. Mempercepat untuk menghidangkan makanan bagi tamu sebab hal tersebut merupakan penghormatan bagi mereka.
  2. Merupakan adab dari orang yang memberikan hidangan ialah melayani para tamunya dan menampakkan kepada mereka kebahagiaan serta menghadapi mereka dengan wajah yang ceria dan berseri-seri.
  3. Adapun masa penjamuan tamu adalah sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيَْلَةٌ وَلاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُقيْمَ عِنْدَ أَخِيْهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ قاَلُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يُؤْثِمَهُ؟ قَالَ :يُقِيْمُ عِنْدَهُ وَلاَ شَيْئَ لَهُ يقْرِيْهِ بِهِ
“Menjamu tamu adalah tiga hari, adapun memuliakannya sehari semalam dan tidak halal bagi seorang muslim tinggal pada tempat saudaranya sehingga ia menyakitinya.” Para sahabat berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana menyakitinya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sang tamu tinggal bersamanya sedangkan ia tidak mempunyai apa-apa untuk menjamu tamunya.”
  1. Hendaknya mengantarkan tamu yang mau pulang sampai ke depan rumah.
·         Adab Bagi Tamu
  1. Bagi seorang yang diundang, hendaknya memenuhinya sesuai waktunya kecuali ada udzur, seperti takut ada sesuatu yang menimpa dirinya atau agamanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ دُعِىَ فَلْيُجِبْ
“Barangsiapa yang diundang maka datangilah!” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْـوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ
“Barang siapa yang tidak memenuhi undangan maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari)
Untuk menghadiri undangan maka hendaknya memperhatikan syarat-syarat berikut:
·         Orang yang mengundang bukan orang yang harus dihindari dan dijauhi.
·         Tidak ada kemungkaran pada tempat undangan tersebut.
·         Orang yang mengundang adalah muslim.
·         Penghasilan orang yang mengundang bukan dari penghasilan yang diharamkan. Namun, ada sebagian ulama menyatakan boleh menghadiri undangan yang pengundangnya berpenghasikan haram. Dosanya bagi orang yang mengundang, tidak bagi yang diundang.
·         Tidak menggugurkan suatu kewajiban tertentu ketika menghadiri undangan tersebut.
·         Tidak ada mudharat bagi orang yang menghadiri undangan.
  1. Hendaknya tidak membeda-bedakan siapa yang mengundang, baik orang yang kaya ataupun orang yang miskin.
  2. Berniatlah bahwa kehadiran kita sebagai tanda hormat kepada sesama muslim. Sebagaimana hadits yang menerangkan bahwa, “Semua amal tergantung niatnya, karena setiap orang tergantung niatnya.” (HR. Bukhari Muslim)
  3. Masuk dengan seizin tuan rumah, begitu juga segera pulang setelah selesai memakan hidangan, kecuali tuan rumah menghendaki tinggal bersama mereka, hal ini sebagaimana dijelaskan Allah ta’ala dalam firman-Nya:
يَاأََيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَدْخُـلُوْا بُيُـوْتَ النَّبِي ِّإِلاَّ أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَـعَامٍ غَيْرَ نَاظِـرِيْنَ إِنهُ وَلِكنْ إِذَا دُعِيْتُمْ فَادْخُلُوْا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِـرُوْا وَلاَ مُسْتَئْنِسِيْنَ لِحَدِيْثٍ إَنَّ ذلِكُمْ كَانَ يُؤْذِى النَّبِيَّ فَيَسْتَحِي مِنْكُمْ وَاللهُ لاَ يَسْتَحِي مِنَ اْلحَقِّ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak makanannya! Namun, jika kamu diundang, masuklah! Dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa memperpanjang percakapan! Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi. Lalu, Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar. Dan Allah tidak malu menerangkan yang benar.” (Qs. Al Azab: 53)
  1. Apabila kita dalam keadaan berpuasa, tetap disunnahkan untuk menghadiri undangan karena menampakkan kebahagiaan kepada muslim termasuk bagian ibadah. Puasa tidak menghalangi seseorang untuk menghadiri undangan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَاِئمًا فَلْيُصَِلِّ وِإِنْ كَانَ مُفْـطِرًا فَلْيُطْعِمْ
“Jika salah seorang di antara kalian di undang, hadirilah! Apabila ia puasa, doakanlah! Dan apabila tidak berpuasa, makanlah!” (HR. Muslim)
  1. Seorang tamu meminta persetujuan tuan untuk menyantap, tidak melihat-lihat ke arah tempat keluarnya perempuan, tidak menolak tempat duduk yang telah disediakan.
  2. Termasuk adab bertamu adalah tidak banyak melirik-lirik kepada wajah orang-orang yang sedang makan.
  3. Hendaknya seseorang berusaha semaksimal mungkin agar tidak memberatkan tuan rumah, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam ayat di atas: “Bila kamu selesai makan, keluarlah!” (Qs. Al Ahzab: 53)
  4. Sebagai tamu, kita dianjurkan membawa hadiah untuk tuan rumah karena hal ini dapat mempererat kasih sayang antara sesama muslim,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berilah hadiah di antara kalian! Niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)
10.                        Jika seorang tamu datang bersama orang yang tidak diundang, ia harus meminta izin kepada tuan rumah dahulu, sebagaimana hadits riwayat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
كَانَ مِنَ اْلأَنْصَارِ رَجـُلٌ يُقَالُ لُهُ أَبُوْ شُعَيْبُ وَكَانَ لَهُ غُلاَمٌ لِحَامٌ فَقَالَ اِصْنَعْ لِي طَعَامًا اُدْعُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَدَعَا رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَتَبِعَهُمْ رَجُلٌ فَقَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ دَعَوْتَنَا خَامِسَ خَمْسَةٍ وَهذَا رَجُلٌ قَدْ تَبِعَنَا فَإِنْ شِئْتَ اْذَنْ لَهُ وَإِنْ شِئْتَ تَرَكْتُهُ قَالَ بَلْ أَذْنْتُ لَهُ
“Ada seorang laki-laki di kalangan Anshor yang biasa dipanggil Abu Syuaib. Ia mempunyai seorang anak tukang daging. Kemudian, ia berkata kepadanya, “Buatkan aku makanan yang dengannya aku bisa mengundang lima orang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengundang empat orang yang orang kelimanya adalah beliau. Kemudian, ada seseorang yang mengikutinya. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau mengundang kami lima orang dan orang ini mengikuti kami. Bilamana engkau ridho, izinkanlah ia! Bilamana tidak, aku akan meninggalkannya.” Kemudian, Abu Suaib berkata, “Aku telah mengizinkannya.”" (HR. Bukhari)
  1. Seorang tamu hendaknya mendoakan orang yang memberi hidangan kepadanya setelah selesai mencicipi makanan tersebut dengan doa:
أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ, وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارَ,وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ اْلمَلاَئِكَةُ
“Orang-orang yang puasa telah berbuka di samping kalian. Orang-orang yang baik telah memakan makanan kalian. semoga malaikat mendoakan kalian semuanya.” (HR Abu Daud, dishahihkan oleh Al Albani)
اَللّهُـمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي, وَاْسقِ مَنْ سَقَانِي
“Ya Allah berikanlah makanan kepada orang telah yang memberikan makanan kepadaku dan berikanlah minuman kepada orang yang telah memberiku minuman.” (HR. Muslim)
اَللّهُـمَّ اغْـفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ وَبَارِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُمْ
“Ya Allah ampuni dosa mereka dan kasihanilah mereka serta berkahilah rezeki mereka.” (HR. Muslim)
  1. Setelah selesai bertamu hendaklah seorang tamu pulang dengan lapang dada, memperlihatkan budi pekerti yang mulia, dan memaafkan segala kekurangan tuan rumah.
F.     Adab Terhadap Sesama
Allah ta’ala berfirman :
âäHxÅzF{$# ¥Í´tBöqtƒ óOßgàÒ÷èt/ CÙ÷èt7Ï9 <rßtã žwÎ) šúüÉ)­FßJø9$# ÇÏÐÈ                      
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” ( Az-Zukhruf : 67 )
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “seseorang itu sesuai agama teman dekatnya, maka hendaknya dia melihat kepada siapakah dia berteman dekat”.
Di antara adab-adab pergaulan bersama sesama saudara Muslim :
1.    Memilih Teman Bergaul Dan Teman Duduk
Telah dikemukakan sebelumnya hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu secara mar’fu’ : “Seseorang itu sesuai agama teman dekatnya maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat bersama siapakah dia berteman”
Sabda Nabi : “Dan janganlah seseorang memakan makananmu kecuali seorang yang bertakwa”. Al-Khaththabi berkata : “Larangan ini berlaku pada makanan undangan bukan makanan hajat/kebutuhan, yang demikian itu karena Allah subhanahu berfirman :
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.( Al-Insan : 8 )
Dan teman dekat dan teman duduk yang jelek akhlaknya memberikan bahaya yang nyata dan tidak diapat dihindari bagaimana pun cara menjaganya, berdasarkan nash dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Musa Al-Asyari radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Pemisalan teman duduk yang shalih dan yang jelek akhlaknya bagaikan penjual minyak wangi dan pandai besi, penjual minyak wangi dia dapat memberimu minyak wangi atau kamu membeli darinya minyak wangi atau kamu mendapatkan bau yang wangi, adapun pandai besi, dia dapat membakar pakaianmu atau kamu mendapat bau yang tidak sedap darinya”.
  1. Mencintai Karena Allah
Kedudukan Persaudaraan yang paling agung adalah ketika hal itu karena Allah dan untuk Allah, tidak untuk mendapatkan kedudukan, atau mendapatkan manfaat yang segera atau yang akan datang, tidak karena mendapatkan materi, atau selainnya. Dan barang siapa kecintaannya kepada temannya karena Allah dan persaudaraannya karena Allah sungguh dia telah mencapai puncak tujuan, dan agar seseorang itu berhati-hati jangan sampai kecintaannya tersebut terselip kepentingan-kepentingan duniawi yang akan mengotori dan menyebabkan kerusakan persaudaraan.
Dan barang siapa kecintaannya karena Allah maka hendaknya dia bergembira dengan janji Allah dan keselamatan dari kedahsyaran hari dimana seluruh makhluk dikumpulkan pada hari kiamat. Dan dia akan dimasukkan dibawah naungan Arsy Dzat yang Maha perkasa Jalla Jalaluhu. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah berfirman pada hari kiamat : “Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku, pada hari ini Aku akan menaungi mereka di dalam naunganku di hari tidak ada naungan selain naungan-Ku”.
3.      Menampakkan Senyum, Bersikap Lembut dan Kasih Sayang Kepada Sesama Saudara Seiman
Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku : “Janganlah seseorang itu meremehkan perbuatan ma’ruf sedikitpun, walaupun dia menjumpai saudaranya dengan wajah yang berseri-seri”.
Sikap lemah lembut dan ramah dan kasih sayang diantara hal-hal yang menguatkan ikatan diantara saudara, dan memperdalam hubungan diantara mereka. Dimana “Allah mencintai lemah lembut di dalam segala urusan”. Dan Allah subhanahu: “Maha lembut mencintai kelembutan dan memberikan kepada orang yang lembut apa yang tidak dia berikan kepada orang yang kasar dan apa yang tidak dia berikan kepada selain orang yang lembut”.
Dan selama hal itu demikan adanya, maka saudara-saudara seiman lebih pantas dan lebih utama agar sebagian mereka berprilaku lemah lembut kepada sebagian lainnya, dan agar sebagian mereka ramah kepada sebagian lainnya.
  1. Disunnahkan Memberi Nasihat Dan Hal Itu Termasuk Kesempurnaan Persaudaraan
Nasihat adalah tuntutan syar’i yang dianjurkan oleh pembuat syariat. Dan merupakan bagian dari perkara-perkara yang menjadi sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membai’at para sahabatnya.
Jarir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu berkata “Saya membai’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menegakkan shalat, menunaikan zakat, memberi nasihat kepada setiap muslim”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggandengkan tuntunan ini bersamaan dengan shalat dan zakat yang mana keduanya bagian dari rukun islam, yang menunjukkan kepada kita akan besarnya kedudukan tuntunan saling menasihati tersebut dan nilainya yang luhur.
Semisal disebutkan didalam hadits Tamim bin Aus Ad-Dari radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Agama itu nasehat “.
Kami berkata : Kepada siapakah wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Beliau bersabda : Kepada Allah, kepada kitabnya, kepada rasulnya, pemimpin-pemimpin kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin”.
Dan sabda beliau : “agama itu nasehat” yaitu : Bahwa nasehat adalah amalan yang paling utama dan yang paling sempurna dalam agama.
  1. Saling Tolong Menolong antar Sesama
Kita memiliki teladan dan contoh dalam hal tersebut. Teladan yang paling besar tentang hal tersebut dari –Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tidaklah sisi kerasulan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghalangi beliau untuk bersama-sama para sahabatnya dan memberi bantuan kepada mereka. Diantara hal tersebut keikut sertaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama sahabatnya ketika membangun masjid Nabawi di Madinah.
  1. Sesama Saudara semestinya saling Merendahkan diri diantara mereka dan tidak sombong atau meremehkan yang Lain
Merendahkan diri itu sifat yang dituntut dan juga diperintahkan. Sedangkan sifat angkuh adalah sifat yang terlarang dan tercela.
‘Iyadh bin Himar radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri sampai tidak ada seorang pun meremehkan orang lain dan seseorang merebut jualan orang lain”.
Sedangkan sifat meremehkan orang lain dan sombong adalah jalan menuju kezhaliman, permusuhan dan kejahatan.
Dan tidak diragukan lagi bahwa manusia bertingkat-tingkat keutamaannya di dalam masalah penghasilan, nasab dan harta. Ini sudah merupakan sunnatullah pada makhluk. Bukanlah orang yang mulia yang menjadikan dirinya mulia, dan bukanlah orang yang rendah dia yang menjadikan dirinya rendah, demikian halnya bagi seorang yang fakir dan seorang yang kaya raya. Melainkan hikmah Allah yang sempurna menetapkan hal tersebut – Dan Allahlah yang menetapkan segala urusan makhluknya.
Dan bukan karena bertingkat-tingkatnya kedudukan martabat manusia sehingga seseorang diperbolehkan menganggap dirinya lebih tinggi dari pada selainnya atau meremehkannya. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidaklah seseorang merendahkan diri dihadapan Allah kecuali Allah akan mengangkat derajatnya”.
  1. Berakhlak yang Terpuji :
Beruntung orang yang Allah pakaikan pakaian akhlak yang terpuji. Karena tidak seorang pun yang diberikan akhlak tersebut kecuali orang-orang akan menyebut dirinya dengan kebaikan, dan derajatnya akan terangkat ditengah-tengah mereka. Akhlak yang terpuji diantaranya dengan wajah yang berseri-seri, bersabar ketika mendapatkan gangguan, menahan marah, dan selainnya daripada kepribadian dan perangai yang terpuji.
Ibnu Manshur berkata : Saya bertanya kepada Abu Abdillah : Tentang akhlak yang baik. Berkata berkata : Agar kamu tidak marahdan tidak kasar.
Dan diantara doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika istiftah “Dan tunjukanlah kepadaku akhlak yang baik yang tidak ada yang dapat menunjukkan kepada akhlak yang baik kecuali Engkau, dan palingkanlah dariku akhlak yang jelek tidak ada yang memalingkan aku dari akhlak yang jelek kecuali Engkau”.
  1. Hati Yang Selamat
Diantara doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Lepaskanlah kedengkian di dalam hatiku” dan dalam riwayat At-Tirmidzi “Dan lepaskanlah kedengkian di dalam dadaku”.
Kepribadian dan perilaku yang sangat luhur kedudukannya ini, ternyata sedikit orang berhias dengannya. Disebabkan jiwa manusia akan sangat sulit untuk lepas dari segala jeratannya, dan untuk mengalah dari hak-haknya bagi selainnya. Bersamaan itu pula, banyak manusia terjatuh perbuatan aniaya dan kezhaliman. Apabila seseorang menjumpai kezhaliman manusia, kejahilan dan kesewenang-wenangan mereka dengan hati yang selamat, dan tidak menghadapi kejahatan mereka dengan perbuatan kejahatan semisalnya, dan tidak dengki kepada mereka, niscaya dia akan mendapatkan kedudukan yang tinggi berupa akhlak yang tinggi dan perangai yang luhur.
Hal mulia ini jarang dan sedikit sekal dijumpai pada manusia, akan tetapi hal itu mudah bagi orang yang Allah mudahkan. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Orang yang beriman adalah seorang yang baik dan berperangai terpuji. Sedangkan orang yang fajir adalah orang yang jelek dan jahat perangainya”. Sabda Nabi : “Orang yang beriman adalah seorang yang baik dan berperangai terpuji “, Al-Mubarakfuri mengatkaan: “ Di dalam An-Nihayah : Yaitu bukan orang yang slalu membuat makar, dan dia tunduk karena ketaatan dan kelembutannya, dan lawan kata dari al-khabbu – jahat/pembuat makar -. Maksudnya bahwa orang yang beriman yang terpuji diantara tabiatnya adalah al-ghararah (yang baik hati), tidak berlaku culas demi perbuatan jelek dan menolak untuk mencari-cari kejelekan. Bukan dikarenakan Kebodohan pada dirinya, akan tetapi karena sifat mulia dan akhlaknya yang terpuji. Demikian yang dijelaskan dalam kitab Al-Mirqah.
  1. Berbaik Sangka Kepada saudara Dan Tidak Memata-Matai Mereka
Sebagaimana disebutkan pada sebuah hadits bahwa Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah kalian berprasangka karena prasangka itu perkataan yang paling dusta, dan janganlah kalian mencari-cari berita dan memata-matai al-hadits”.
Maksud larangan prasangka disini adalah larangan terhadap prasangka buruk. Al-Khaththabi berkata : “Yaitu menerima dan membenarkan setiap persangkaan tanpa ada kekhawatiran di dalam hati, maka sesungguhnya hal itu tidak terkendali.
Maka hal tersebut dilarang, dan hadits ini sesuai dengan firman Allah ta’ala :
“ Jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.” ( Al-Hujurat : 12 )
Konteks ayat menunjukkan perintah menjaga harga diri seorang muslim dengan sebenar-benarnya penjagaan. Karena penempatan larangan yang didahulukan daripada tenggelam dalam sebuah prasangka. Apabila orang yang berprasangka berkata : Saya akan membahasnya agar saya mengetahui fakta yang sebenarnya, dikatakan kepadanya : “janganlah kamu memata-matai” maka apabila terjadi tanpa memata-matai, maka akan dikatakan kepadanya :
” Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain”.
  1. Memaafkan Kesalahan Dan Menahan Marah
Ketika bercampur dan bergaul bersama manusia mau tidak mau- ada padanya sesuatu kekurangan dan perlakuan yang melampui batas dari sebagian mereka kepada sebagian lainya apakah itu dengan perkatan maupun perbuatan, maka disunnahkan bagi orang yang terzhalimi agar menahan marah dan memaafkan orang yang menyzhaliminya, Allah ta’ala berfirman :
 “ Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. ( Asy-Syura : 37 )
Dan Allah ta’ala berfirman :
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” ( Ali Imran : 134 )
Dan tentang fiman Allah : “Dan orang-orang yang menahan amarahnya” yaitu : Apabila mereka mendapatkan gangguan dari orang lain sehingga menyebabkan kemarahan mereka dan hati mereka telah penuh dengan kekesalan, yang mengharuskan membalasnya dengan perkataan dan perbuatan, mereka tidak mengamalkan kosukuensi tabiat manusia tersebut.
Bahkan mereka menahan amarah yang ada pada mereka lalu bersabar tidak membalas orang yang berbuat jahat kepadanya. Dan firman Allah : “Dan orang-orang yang memaafkan orang lain“, masuk di dalam perkara memaafkan manusia, yaitu memaafkan dari setiap orang yang berbuat jahat kepadanya dengan perkataan atau perbuatan. Memaafkan lebih sempurna daripada menahan marah, karena memaafkan itu meninggalkan pembalasan bersamaan dengan adanya kerelaan terhadap orang yang berbuat jahat. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman :
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik. Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.. ( Asy-Syura : 40 ).
Memaafkan kesalahan, keteledoran dan perbuatan aniaya bukanlah kelemahan dan bukan pula kekurangan, bahkan hal itu adalah perbuatan yang tinggi nilainya bagi orang yang melakukannya dan merupakan perbuatan mulia, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Shadaqah tidaklah mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambahkan kepada seorang yang memberi ma’af kecuali kemuliaan, dan tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah kecuali Allah akan tinggikan derajatnya” dan pada lafazh riwayat Ahmad : “Tidaklah seseorang memberi maaf dari perbuatan aniaya kecuali Allah tambahkan bagi kemuliaan”.
Dan orang-orang yang saling bersaudara karena Allah sangat pantas bagi mereka agar saling memberi maaf atas kesalahan sebagian mereka, dan orang yang berbuat baik dari mereka memberi maaf kepada mereka yang melakukan kesalahan..
  1. Larangan Saling Hasad dan Saling Membenci Dan Memboikot :
Hal ini dijelaskan didalam hadits Anas radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Janganlah kalian saling membenci dan saling hasad, saling memboikot dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara, tidak halal bagi seorang muslim memboikot saudaranya yang lain diatas tiga hari”.
Hasad itu ada dua macam terpuji dan tercela. Hasad yang tercela adalah menginginkan hilangnya nikmat yang ada pada orang lain, dan hal ini adalah perbuatan zhalim, aniaya dan permusuhan. Hasad dan yang terpuji adalah Al-Ghibthah yaitu menginginkan nikmat yang serupa yang ada pada orang lain tanpa adanya keinginan hilang nikmat tersebut padanya.
Inilah yang dimaksudkan di dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak ada hasad kecuali pada dua perkara : seseorang yang Allah berikan kepadanya Al-Qur`an dan dia mengamalkannya sepanjang malam, dan seseorang yang Allah berikan kepadanya harta dan dia bersedekah dengannya sepanjang hari dan sepanjang malam”.
Saling membenci adalah lawan dari saling mencintai, dan makna At-Tadabur adalah memboikot.
  1. Larangan panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk
Termasuk penyakit lisan yang bisa mendatangkan dosa, mengobarkan kemarahan dan menyebabkan perpecahan diantara sesama sudara, yaitu, panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk, memberi gelar kepada orang lain dengan gelar-gelar yang buruk lagi tercela, mereka saling mencela dengannya, dan ditertawakan atasnya dari celaan tersebut, padanya ada larangan dari Allah Maha Mulia diatas Ketinggian-Nya, Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman.” ( Al-Hujurat :11).
Dan seorang muslim berhak dengan keselamatan muslim yang lain dari lisan dan tangannya.
Abu Jubairah bin Adh-Dhahak radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, beliau berkata : Ayat ini diturunkan kepada Bani Salamah :
“Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman.” Beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami dan tidaklah salah seorang dari kami kecuali dia mempunyai dua atau tiga nama, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil dengan “Wahai fulan.” Maka para sahabat berkata : Apa itu wahai Rasulullah, sesungguhnya dia akan marah dengan nama tersebut, maka turunlah ayat ini : “Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” ( Al-Hujurat :11).
Mayoritas masyarakat sekarang pada saat ini banyak terjerumus kedalamnya, berupa kelaliman dengan perkataan, berbuat dosa dengan lisan dan merusak lisan tersebut. Dan berlepas diri dari orang yang menyakiti dengan lisannya dan menahannya dari menjaga kehormatan kaum muslimin, agar mereka tidak memperoleh keburukan, semoga Allah menjaga kita dan anda semua dari kerusakan lisan dan kekhilafannya.
  1. Disenangi mengadakan ishlah (perbaikan) antar sesama saudara
Tidak dapat dielakkan lagi adanya beberapa perselisihan dan pertengkaran diantara saudara, dari yang sudah barang tentu menyebabkan percekcokan dan permusuhan antara mereka. Telah disepakati pada masyarakat orang yang dijadikan oleh Allah sebagai perantara untuk mengadakan perbaikan antara orang-orang yang saling memutuskan hubungan dan orang-orang yang saling berselisih. Diriwayatkan dari Abu Darda’ radhiallahhu ‘anhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apakah kalian mau aku beritahukan dengan apa yang lebih utama daripada derajat puasa, shalat dan shadaqah?” Para sahabat menjawab : Iya.beliau bersabda : “(Mengadakan) kebaikan dzatul-bain (antara sesama), sesungguhnya kerusakan antara sesama adalah kebinasaan.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ”Setiap ruas dari seseorang padanya ada shadaqah, dan setiap hari yang terbit padanya matahari dan dia berbuat adil antara dua orang padanya ada shadaqah…al-hadits.” Pada riwayat yang lain : “dan setiap hari yang terbit padanya matahari dan dia berbuat adil antara dua sesama manusia ada shadaqah.”
Dan Ulul albab – kaum cerdik pandai – sepantasnya mereka menjadi pendahulu untuk perbaikan sesama manusia, dan tidak sepantasnya mereka menjauhkan diri darinya, berpaling dari jalan perbaikan setelah mengetahui besarnya pahala yang terdapat padanya.
  1. Keharaman mengungkit-ungkit pemberian
Sejumlah ayat dan hdits telah menetapkan hukum haram dari perbuatan mengungkit-ungkit pemberian, seperti didalam firman Allah ta’ala:
“ Dan mereka yangmenginfakkan harta mereka dijalan Allah, kemudian tidak mengikuti pemberian tersebut dengan sifat mengungkit-ungkit pemberian ataukah untuk menyakiti sipenerima … “ ( Al-Baqarah : 262 ).
Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dari hadits Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, beliau bersabda: “ Ada tiga golongan yang mana Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat, tidak akan melihat kepada mereka dan Allah tidak akan mensucikan mereka dan bagi mereka adzab yang pedih. Abu Dzar berkata: Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya sebanyak tiga kali.” Abu Dzar berkata : “ Celakalah dan merugilah mereka, siapakah mereka ini wahai Rasulullah ?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Seorang yang memanjangkan kainnya melewati mata kaki, seorang yang selalu mengungkit-ungkit pemberiannya, dan seseorang yang menginfakkan barangnya dengan sumpah dusta “
Dan juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits Abdullah bin Amru radhiallahu ‘anhuma, beliau bersabda: “ Tidak akan masuk surga seorang yang selalu mengungkit-ungkit pemberiannya, dan juga seorang yang durhaka dan seseorang yang kecanduan minum khamar “
  1. Menjaga rahasia dan tidak menyebarluaskannya
Dan ini termasuk amanah yang wajib untuk dijaga dan disembunyikan. Seseorang yang menyebarluaskan rahasia tergolong seorang yang mengkhianati amanah. Dan perbuatan tersebut salah satu dari sifat orang-ornag munafik.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Tanda seorang munafik ada tiga: Apabila dia berkata dia berdusta, apabila dia berjanji maka dia menyalahinya dan apabila dia diserahi amanah maka dia berkhianat.
Suatu yang rahasia, wajib untuk disembunyikan dan tidak disampaikan kepada semua kaum manusia atau disebarkan. Ini tergolong anjuran syariat dan perhatian syara agar kaum manusia menjaga segala persoalan rahasia mereka, dimana menengoknya seorang pembicara untuk memastikan tempat tersebut tersembunyi, sederajat dengan perkataannya: Ini adalah sbeuah rahasia maka sembunyikanlah rahasiaku ini.
  1. Celaan kepada seseorang yang bermuka dua
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan maksud dari seorang yang bermuka dua, di dalam sabda beliau: “ Engkau akan mendapatkan orang yang paling buruk disisi Allah pada hari kiamat adalah seseorang yang bermuka dua. Yaitu seseorang yang menjumpai suatu kaum denganwajah demikian lalu kaum lainnya dengan wajah berbeda.
Seseorang yang bermuka dua, dikategorikan sebagai manusia yang paling buruk, disebabkan keadaannya terseut adalah kepribadian seorang munafik. Karena dia mencari muka dengan kebatilan dan kedustaaan dan menyisipkan kerusakan ditengah-tengah kaum manusia.
An-Nawawi mengatakan: “ Dia adalah seseorang yang mendatangi setiap pihak dengan suatu yang mereka senangi. Dan menampakkan bahwa dirinya termasuk bagian dari mereka dan menyalahi lawan mereka. Perbuataannya tersebut adalah nifak yang sebenarnya.”
Beliau lanjut mengatakan: “ Adapun yang melakukannya dnegna tujuan mengadakan perdamaian antara kedua belah pihak maka perbuatan trsbeut suatu yang terpuji. “ Selain dari beliau mengatakan: “ Perbedaan antara keduanya, bahwa yang tercela adalah seseorang yang membenarkan amalan suatu kelompok dan mencelanya dihadapan kelompok lainnya. Dan setiap kelompok dicelanya dihadapan kelompok lainnya. Sementara yang terpuji adalah seseorang yang daang kepada masing-masing kelompok dengan ucapan yang penyiratkan perdamaian kepada kelompok lainnya dan memintakan udzur masing-masing kelompok tersebut dihadapan eklompok lainnya. Dan menyampaikan kepada kelompok tersebut segala yang baik yang memungkinkan untuk disampakannya dan menutupi segala yang buruk.



BAB III
SIMPULAN
1.      Adab ialah mencerminkan baik buruknya seseorang, mulia atau hinanya seseorang, terhormat atau tercelanya nilai seseorang.
2.      Adab terhadap orang tua adalah taat kepada kedua orang tua dalam semua perintah dan larangan keduanya, selama di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan kepada Allah, dan pelanggaran terhadap syariat-Nya, karena manusia tidak berkewajibab taak kepada manusia sesamanya dalam bermaksiat kepada Allah, Hormat dan menghargai kepada keduanya, merendahkan suara dan memuliakan keduanya dengan perkataan dan perbuatan yang baik, tidak menghardik dan tidak mengangkat suara di atas suara keduanya, tidak berjalan di depan keduanya, tidak mendahulukan istri dan anak atas keduanya, tidak memanggil keduanya dengan namanya namun memanggil keduanya dengan panggilan, “Ayah, ibu,” dan tidak berpergian kecuali dengan izin dan kerelaan keduanya.
3.      Adab terhadap guru adalah Jangan mencari guru sembarangan, Ikhlas sebelum melangkah, Mengagungkan guru, Akuilah keutamaan gurumu, Doakan kebaikan, Rendah diri kepada guru, Mencontoh akhlaknya, Membela kehormatan guru, Jangan berlebihan kepada guru, dan Bila guru bersalah
4.      Adab terhadap tetangga : berbuat baik (ihsan) kepada mereka. sabar menghadapi gangguan tetangga, menjaga dan memelihara tetangga, dan  tidak mengganggu tetangga.
5.      Adab terhadap tamu adalah Ketika mengundang seseorang, hendaknya mengundang orang-orang yang bertakwa, bukan orang yang fajir (bermudah-mudahan dalam dosa),  Tidak mengkhususkan mengundang orang-orang kaya saja, tanpa mengundang orang miskin, Tidak mengundang seorang yang diketahui akan memberatkannya kalau diundang. Disunahkan mengucapkan selamat datang kepada para tamu sebagaimana hadits yang  Menghormati tamu dan menyediakan hidangan untuk tamu makanan semampunya saja.  Dalam penyajiannya tidak bermaksud untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga,  Hendaknya juga, dalam pelayanannya diniatkan untuk memberikan kegembiraan kepada sesama muslim.
6.      Adap terhadap sesama adalah Mencintai Karena Allah, Menampakkan Senyum, Bersikap Lembut dan Kasih Sayang Kepada Sesama Saudara Seiman , Disunnahkan Memberi Nasihat Dan Hal Itu Termasuk Kesempurnaan Persaudaraan, Saling Tolong Menolong antar Sesama, Sesama Saudara semestinya saling Merendahkan diri diantara mereka dan tidak sombong atau meremehkan yang Lain, Berakhlak yang Terpuji, Berbaik Sangka.
DAFTAR  PUSTAKA


DR.Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari. 2006. Keistimewaan Akhlak Islam. Bandung: ________ Pustaka Setia

Drs.KH.Ahmad Dimyathi Badruzzaman,M.A.2004.Panduan Kuliah Agama Islam. Bandung: ________ Sinar Baru

Prof. Dr. Abdul Wahab khalaf, ‘’Hadits-Hadits Nabi’’, Gema Risalah, Perss, Bandung, 1996. ________ hal 197.


Syarifuddin Amir, ‘’MUTIARA HADITS’’, PT. LOGOS Wacana Ilmu. jakarta, 1997, hlm:124